LOCUSONLINE – Awal tahun 2023, tepatnya di bulan Januari, masyarakat Garut dihebohkan oleh pernyataan resmi dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar). 10 Januari 2023 lembaga ini menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Print-33/M.2/Fd.1/01/2023 dan dilanjutkan dengan diumumkannya ada kerugian keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dari tahun 2018-2021.
Kasus yang menimpa perusahaan perbankan milik pemerintah atau biasa disebut Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kota Intan mulai digarap Kejati Jabar sejak Desember 2022. Pada saat itu juga, lembaga ini telah memulai penyelidikan terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Korupi (tipikor) di tubuh perusahaan itu.
Lalu perusahaan apa yang membuat lembaga penegak hukum ini menjadi perhatian publik, khususnya masyarakat di Kabupaten Garut. Pasalnya, ada beberapa BUMD yang berada dibawah naungan Pemkab Garut. Ternyata perusahaan perbankan itu adalah BPR Bank Intan Jabar (BIJ) Kabupaten Garut.
Namun, setelah lebih dari 10 bulan berlalu Kejati Jabar belum menetapkan tersangka dan melakukan penahanan secara resmi, maka tiga orang masyarakat Garut mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung yang telah terdaftar dengan nomor perkara 22/Pid.Pra/2023/PN Bdg.
Kuasa Hukum para pihak pengaju Praperadilan, Asep Muhidin, SH. MH membenarkan adanya pemberian kuasa dari tiga orang warga Garut dari sekian banyak yang akan memberikan kuasa. “Kami batasi dulu minimal 2 orang warga yang memberikan kuasa kepada kantor hukum kami, awalnya banyak yang akan memberikan kuasa tetapi maksud dan tujuannya sama, jadi dibuat oleh 3 orang dulu. Adapun maksud dan tujuan warga Garut ini meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi di BPR Bank Intan Jabar Garut yang diduga telah merugikan keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dan setatusnya telah masuk ke tahap penyidikan,” katanya.
Menurut Asep Muhidin, apabila pihak Kejati Jabar taat hukum, dengan mempedomani kepada Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU TIPIKOR), dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, seharusnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tersangkanya. “Namun sampai saat ini belum dilakukan, pihak Kejati Jabar belum menyampaikan perkembangan penyidikan terhadap oknum-oknum di BPR Intan Jabar Garut,” tandasnya.
Selain itu, tegas Asep Muhidin, masyarakat mempunyai legal standing dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”. “Warga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui perkembangan informasi terkait dugaan perkara pidana yang diduga terjadi di tubuh BPR Intan Jabar,” katanya.
Dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi, Asep menegaskan, tentu ada indikasi kuat telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membantu pencari keadilan.
“Artinya, penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disamapaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan masyarakat sebagai pencari keadilan harus mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong,” imbuhnya.
Asep menjelaskan, mengacu kepada Pasal 265 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, menegaskan “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Tinggi atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Asisten Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan tersangka.
“Sedangkan dalam penanganan kasus dugaan Tipikor BPR Ibank Intan Jabar Garut, Surat Perintah Penyidikaan diterbitkan 10 Januari 2023 sehingga waktu 50 hari jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 harus sudah ada penetapan tersangka dan dilakukan penahanan. Ini sampai sekarang kan belum ada penetapan,” ujarnya.
Asep Muhidin mengatakan, Hukum atau aturan itu untuk ditaati dan dipatuhi semua orang, bukan untuk rakyat saja. Penegak hukum juga wajib mematuhi semua ketentuan dan haram melakukan pelanggaran, baik administrasi maupun pidana. “Disinilah kita harus memaknai apa makna asas equality before the law, asas tersebut maknanya bukan persamaan dihadapan hukum, itu arti dari equality before the law,” terangnya.
“Adapun permohonan dalam Praperadilan tersebut, sederhana, segera tetapkan tersangka dan tahan. Karena jelas disebutkan pada SOP (Standar Operasional Prosedur) Kejaksaan dan peraturan lainnya telah mengatur bagaimana tahapan proses dari penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai ke persidangan dan eksekusi serta berapa lama waktu yang diaturnya,” pungkasnya. (rilis) Awal tahun 2023 masyarakat Garut dihebohkan oleh pernyataan resmi dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (kejati Jabar). Lembaga penegak hukum ini, sejak sejak Desember 2022 telah memulai penyelidikan terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Korupi (tipikor) yang melanda BPR Bank Intan Jabar Garut dan telah menaikan setatus ke tahap penyidikan sejak 10 Januari 2023 dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Print-33/M.2/Fd.1/01/2023 dan dilanjutkan dengan diumumkannya ada kerugian keangan mencapai Rp. 10 Milyar dari tahun 2018-2021.
Namun, setelah lebih dari 10 bulan berlalu Kejati Jabar belum menetapkan tersangka dan melakukan penahanan secara resmi, maka tiga orang masyarakat Garut mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung yang telah terdaftar dengan nomor perkara 22/Pid.Pra/2023/PN Bdg.
Kuasa Hukum para pihak pengaju Praperadilan, Asep Muhidin, SH. MH membenarkan adanya pemberian kuasa dari tiga orang warga Garut dari sekian banyak yang akan memberikan kuasa. “Kami batasi dulu minimal 2 orang warga yang memberikan kuasa kepada kantor hukum kami, awalnya banyak yang akan memberikan kuasa tetapi maksud dan tujuannya sama, jadi dibuat oleh 3 orang dulu. Adapun maksud dan tujuan warga Garut ini meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi di BPR Bank Intan Jabar Garut yang diduga telah merugikan keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dan setatusnya telah masuk ke tahap penyidikan,” katanya.
Menurut Asep Muhidin, apabila pihak Kejati Jabar taat hukum, dengan mempedomani kepada Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU TIPIKOR), dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, seharusnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tersangkanya. “Namun sampai saat ini belum dilakukan, pihak Kejati Jabar belum menyampaikan perkembangan penyidikan terhadap oknum-oknum di BPR Intan Jabar Garut,” tandasnya.
Selain itu, tegas Asep Muhidin, masyarakat mempunyai legal standing dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”. “Warga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui perkembangan informasi terkait dugaan perkara pidana yang diduga terjadi di tubuh BPR Intan Jabar,” katanya.
Dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi, Asep menegaskan, tentu ada indikasi kuat telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membantu pencari keadilan.
“Artinya, penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disamapaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan masyarakat sebagai pencari keadilan harus mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong,” imbuhnya.
Asep menjelaskan, mengacu kepada Pasal 265 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, menegaskan “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Tinggi atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Asisten Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan tersangka.
“Sedangkan dalam penanganan kasus dugaan Tipikor BPR Ibank Intan Jabar Garut, Surat Perintah Penyidikaan diterbitkan 10 Januari 2023 sehingga waktu 50 hari jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 harus sudah ada penetapan tersangka dan dilakukan penahanan. Ini sampai sekarang kan belum ada penetapan,” ujarnya.
Asep Muhidin mengatakan, Hukum atau aturan itu untuk ditaati dan dipatuhi semua orang, bukan untuk rakyat saja. Penegak hukum juga wajib mematuhi semua ketentuan dan haram melakukan pelanggaran, baik administrasi maupun pidana. “Disinilah kita harus memaknai apa makna asas equality before the law, asas tersebut maknanya bukan persamaan dihadapan hukum, itu arti dari equality before the law,” terangnya.
“Adapun permohonan dalam Praperadilan tersebut, sederhana, segera tetapkan tersangka dan tahan. Karena jelas disebutkan pada SOP (Standar Operasional Prosedur) Kejaksaan dan peraturan lainnya telah mengatur bagaimana tahapan proses dari penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai ke persidangan dan eksekusi serta berapa lama waktu yang diaturnya,” pungkasnya. (rilis)Awal tahun 2023 masyarakat Garut dihebohkan oleh pernyataan resmi dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (kejati Jabar). Lembaga penegak hukum ini, sejak sejak Desember 2022 telah memulai penyelidikan terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Korupi (tipikor) yang melanda BPR Bank Intan Jabar Garut dan telah menaikan setatus ke tahap penyidikan sejak 10 Januari 2023 dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Print-33/M.2/Fd.1/01/2023 dan dilanjutkan dengan diumumkannya ada kerugian keangan mencapai Rp. 10 Milyar dari tahun 2018-2021.
Namun, setelah lebih dari 10 bulan berlalu Kejati Jabar belum menetapkan tersangka dan melakukan penahanan secara resmi, maka tiga orang masyarakat Garut mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung yang telah terdaftar dengan nomor perkara 22/Pid.Pra/2023/PN Bdg.
Kuasa Hukum para pihak pengaju Praperadilan, Asep Muhidin, SH. MH membenarkan adanya pemberian kuasa dari tiga orang warga Garut dari sekian banyak yang akan memberikan kuasa. “Kami batasi dulu minimal 2 orang warga yang memberikan kuasa kepada kantor hukum kami, awalnya banyak yang akan memberikan kuasa tetapi maksud dan tujuannya sama, jadi dibuat oleh 3 orang dulu. Adapun maksud dan tujuan warga Garut ini meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi di BPR Bank Intan Jabar Garut yang diduga telah merugikan keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dan setatusnya telah masuk ke tahap penyidikan,” katanya.
Menurut Asep Muhidin, apabila pihak Kejati Jabar taat hukum, dengan mempedomani kepada Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU TIPIKOR), dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, seharusnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tersangkanya. “Namun sampai saat ini belum dilakukan, pihak Kejati Jabar belum menyampaikan perkembangan penyidikan terhadap oknum-oknum di BPR Intan Jabar Garut,” tandasnya.
Selain itu, tegas Asep Muhidin, masyarakat mempunyai legal standing dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”. “Warga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui perkembangan informasi terkait dugaan perkara pidana yang diduga terjadi di tubuh BPR Intan Jabar,” katanya.
Dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi, Asep menegaskan, tentu ada indikasi kuat telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membantu pencari keadilan.
“Artinya, penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disamapaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan masyarakat sebagai pencari keadilan harus mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong,” imbuhnya.
Asep menjelaskan, mengacu kepada Pasal 265 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, menegaskan “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Tinggi atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Asisten Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan tersangka.
“Sedangkan dalam penanganan kasus dugaan Tipikor BPR Ibank Intan Jabar Garut, Surat Perintah Penyidikaan diterbitkan 10 Januari 2023 sehingga waktu 50 hari jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 harus sudah ada penetapan tersangka dan dilakukan penahanan. Ini sampai sekarang kan belum ada penetapan,” ujarnya.
Asep Muhidin mengatakan, Hukum atau aturan itu untuk ditaati dan dipatuhi semua orang, bukan untuk rakyat saja. Penegak hukum juga wajib mematuhi semua ketentuan dan haram melakukan pelanggaran, baik administrasi maupun pidana. “Disinilah kita harus memaknai apa makna asas equality before the law, asas tersebut maknanya bukan persamaan dihadapan hukum, itu arti dari equality before the law,” terangnya.
“Adapun permohonan dalam Praperadilan tersebut, sederhana, segera tetapkan tersangka dan tahan. Karena jelas disebutkan pada SOP (Standar Operasional Prosedur) Kejaksaan dan peraturan lainnya telah mengatur bagaimana tahapan proses dari penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai ke persidangan dan eksekusi serta berapa lama waktu yang diaturnya,” pungkasnya. (rilis)Awal tahun 2023 masyarakat Garut dihebohkan oleh pernyataan resmi dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (kejati Jabar). Lembaga penegak hukum ini, sejak sejak Desember 2022 telah memulai penyelidikan terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Korupi (tipikor) yang melanda BPR Bank Intan Jabar Garut dan telah menaikan setatus ke tahap penyidikan sejak 10 Januari 2023 dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Print-33/M.2/Fd.1/01/2023 dan dilanjutkan dengan diumumkannya ada kerugian keangan mencapai Rp. 10 Milyar dari tahun 2018-2021.
Namun, setelah lebih dari 10 bulan berlalu Kejati Jabar belum menetapkan tersangka dan melakukan penahanan secara resmi, maka tiga orang masyarakat Garut mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung yang telah terdaftar dengan nomor perkara 22/Pid.Pra/2023/PN Bdg.
Kuasa Hukum para pihak pengaju Praperadilan, Asep Muhidin, SH. MH membenarkan adanya pemberian kuasa dari tiga orang warga Garut dari sekian banyak yang akan memberikan kuasa. “Kami batasi dulu minimal 2 orang warga yang memberikan kuasa kepada kantor hukum kami, awalnya banyak yang akan memberikan kuasa tetapi maksud dan tujuannya sama, jadi dibuat oleh 3 orang dulu. Adapun maksud dan tujuan warga Garut ini meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi di BPR Bank Intan Jabar Garut yang diduga telah merugikan keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dan setatusnya telah masuk ke tahap penyidikan,” katanya.
Menurut Asep Muhidin, apabila pihak Kejati Jabar taat hukum, dengan mempedomani kepada Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU TIPIKOR), dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, seharusnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tersangkanya. “Namun sampai saat ini belum dilakukan, pihak Kejati Jabar belum menyampaikan perkembangan penyidikan terhadap oknum-oknum di BPR Intan Jabar Garut,” tandasnya.
Selain itu, tegas Asep Muhidin, masyarakat mempunyai legal standing dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”. “Warga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui perkembangan informasi terkait dugaan perkara pidana yang diduga terjadi di tubuh BPR Intan Jabar,” katanya.
Dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi, Asep menegaskan, tentu ada indikasi kuat telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membantu pencari keadilan.
“Artinya, penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disamapaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan masyarakat sebagai pencari keadilan harus mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong,” imbuhnya.
Asep menjelaskan, mengacu kepada Pasal 265 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, menegaskan “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Tinggi atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Asisten Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan tersangka.
“Sedangkan dalam penanganan kasus dugaan Tipikor BPR Ibank Intan Jabar Garut, Surat Perintah Penyidikaan diterbitkan 10 Januari 2023 sehingga waktu 50 hari jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 harus sudah ada penetapan tersangka dan dilakukan penahanan. Ini sampai sekarang kan belum ada penetapan,” ujarnya.
Asep Muhidin mengatakan, Hukum atau aturan itu untuk ditaati dan dipatuhi semua orang, bukan untuk rakyat saja. Penegak hukum juga wajib mematuhi semua ketentuan dan haram melakukan pelanggaran, baik administrasi maupun pidana. “Disinilah kita harus memaknai apa makna asas equality before the law, asas tersebut maknanya bukan persamaan dihadapan hukum, itu arti dari equality before the law,” terangnya.
“Adapun permohonan dalam Praperadilan tersebut, sederhana, segera tetapkan tersangka dan tahan. Karena jelas disebutkan pada SOP (Standar Operasional Prosedur) Kejaksaan dan peraturan lainnya telah mengatur bagaimana tahapan proses dari penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai ke persidangan dan eksekusi serta berapa lama waktu yang diaturnya,” pungkasnya. (rilis)