LOCUSONLINE.CO, Garut – Kejaksaan Negeri Garut masih menggarap dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pembangunan Joging Track pada Dinas Pemuda dan Olah Raga (Dispora) Kabupaten Garut tahun anggaran 2022 yang menelan anggaran Rp. 1,3 Milyar. Kegiatan tersebut resmi dilaporkan warga kepada Kejaksaan Negeri Garut pada 18 April 2023 lalu.
Menurut pelapor, sejak menangani pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan pada pembangunan Joging Track di Dispora Garut tahun anggaran 2022, Kejaksaan Negeri Garut masih belum mampu mengungkap siapa yang layak menyandang tersangka. Padahal sudah dilakukan pengecekan dan ditemukan adanya kekurangan volume, bahkan besi yang seharusnya dikurangi ukurannya. Contoh seharusnya menggunakan besi 12, ini menggunakan beri 8, otomatis kualitas dan kekuatannya tidak akan lama dan sesuai dengan rencana.
“Jelas ada kekurangan volume terhadap spesifikasi itu akan mempengaruhi kekuatan area joging track. Cek saja sekarang, apakah layak dipakai atau tidak, apakah sudah rusak (sebagian) atau masih bagus. Jangan sampai dugaan korupsi ini dihentikan penyelidikannya seperti kasus-kasus lain yang badainya cukup besar,” terang Asep Muhidin diruang kerjanya, Jum’at (15/3/2024).
Selain itu, lanjut Asep, pihaknya baru membuka dan menyampaikan sekarang kepada publik. Ia beserta rekan-rekannya telah mengendus dari awal adanya dugaan salah satu izin usaha CV. R sebagai pemenang tender telah habis alias tidak berlaku. Jadi sambung Asep, kenapa penyelidik pada Kejaksaan tidak mampu menggali itu?.
“Kan aneh. Untuk itu, kami meminta agar penyelidik di Kejaksaan memeriksa dokumen CV. R dengan teliti. Kalau tidak mampu menggali dan mengungkapnya, bikin surat keterangan tidak mampu saja dan sampaikan kepada publik,” tegasnya.
Dugaan Tidak Cermat Meneliti Dokumen Penawaran
Menurut pria yang akrab disapa Asep Apdar ini, pada masa pelaksanaan lelang pun, penyelenggara (Pegawai Dispora) dan petugas LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) diduga tidak cermat dalam meneliti dokumen penawaran, sehingga Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bendahara serta PPHP (Pejabat Hasil Penerima Pekerjaan) diduga tidak melaksanakan prosedur yang harus ditati dan dalam menerima hasil pekerjaan jelas tidak berkualitas. “Ada dugaan pengurangan spesifikasi, tetapi masih saja diterima,” jelasnya.
Selain itu, pekerjaannya diduga disubkontrakkan atau dikerjakan oleh orang lain, sehingga perbuatan tersebut tidak diperbolehkan oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan peraturan teknis lainnya.
Asep menegaskan, pinjam bendera melanggar 3 ketentuan. Pertama, melanggar prinsip dan etika pengadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6-7 Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dimana Pasal 7 mengharuskan semua pihak yang terlibat Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) mematuhi etika, termasuk mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara.
Kedua, melanggar larangan membuat dan memberikan pernyataan tidak benar atau memberikan keterangan palsu, sesuai Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP) No. 09 Tahun 2019. Ketiga, menabrak larangan mengalihkan seluruh atau sebagian pekerjaan kepada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia.
Adapun yang boleh pekerjaan itu disubkontrakan, sebut Asep, apabila pekerjaannya diatas Rp. 25 Milyar, yang dibawahnya tidak diperbolehkan disubkontrakkan, atau pinjam bendera. Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan ilegal, karena tidak ada bagian pekerjaan yang disubkontrakkan sejak penawaran, kemudian tidak ada dalam kontrak, tiba-tiba di pelaksanaan terdapat pekerjaan yang disubkontrakkan.
“Hal ini menjadi pelanggaran yang wajib dikenakan sanksi dan sudah jelas itu adalah niat jahat,” katanya.
Upaya Pengembalian Kerugian Negara
Perlu diketahui, sebut Asep, meskipun ada upaya pengembalian kerugian yang dilakukan penyedia, itu tidak menghapus perbuatan pidana. Karena ini bukan dari kesalahan administrasi atau temuan auditor (BPK/Inspetorat) yang kemudian direkomendasikan sebagai Tuntutan Ganti Rugi (TGR), melainkan jelas adanya perbuatan melawan hukum, niat jahat karena meloloskan perusahaan yang diduga sebagian izin usahanya telah habis serta hasil pekerjaannya pun tidak sesuai dengan volume/spesifikasi. Otomatis kekuatan kontruksinya tidak akan lama.
“Bisa juga Jaksa mencermati Pasal 7 perjanjian kerjasama antara Kemendagri dengan Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian RI, disitu mengatur mana yang kesalahan administrasi. Tentunya harus mempedomani apa itu kesalahan administrasi dan apa kelalaian atau fraud yang menimbukan kerugian. Jadi, berikan publik pendidikan yang real dan benar sesuai kaidah dan norma hukum. Apalagi Pasal 4 UU Tipikor jelas mengatur. Jangan sampai kejaksaan berubah fungsi menjadi penagih dan penghitung pengembalian kerugian keuangan, tanpa melihat it fraud atau administrasi,” tegas Asep.
Saat ini, Asep Muhidin bersama rekannya tengah menyiapkan langkah hukum untuk membuka keran yang menyumbat proses tersebut, karena semua proses ada batasan waktunya. Jangan sampai penanganan dugaan Tipikor Joging Track berlarut-larut seperti penanganan kasus BOP (Biaya Operasional), Reses, Pokir (Pokok-pokok pikiran), dugaan korupsi pada Inspektorat dan Dinas PUPR Garut yang sudah bertahun-tahun tidak ada kepastian hukum.
Diakuinya, langkah yang akan ditempuh, dia dan timnya akan melakukan upaya penerapan hukum administratif oleh penyelidik dan penyidik Kejaksaan Negeri Garut terhadap proses penanganan Dumas (Pengaduan Masyarakat) dugaan Tipikor Joging Track ini dengan menyampaikan pelaporan kepada Ombudsman RI, dan gugatan kepada Pengadilan.
“Nanti disana akan terlihat rangkaian dan prosesnya sudah benar atau belum. Karena sejak Dumas diterima, ada batasan-batasan waktu yang wajib ditaati,” terangnya.
Asep kembali menjelaskan, batasan yang dimaksud tersebut diatur didalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang merupakan peraturan teknis internal Kejaksaan.
“Semoga Kejaksaan Negeri Garut dapat segera memberikan jawaban dan memberikan keputusan terhadap proses penyelidikan pengaduan masyarakat ini agar tidak melabrak SOP. Penanganan Dumas harus sesuai Perja. Apabila tidak pun itu haknya, dan kami akan tetap mengajukan langkah dan upaya hukum terukur sesuai ketentuan,” pungkasnya. (Asep Ahmad)