LOCUSONLINE, JAKARTA – Pembatasan jumlah kuasa hukum dan saksi dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024. Resmi diumumkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo. Minggu, 24/ 3/ 2024
Suhartoyo menjelaskan bahwa hanya 10 kuasa hukum dari setiap pihak yang diizinkan hadir dalam sidang, ditambah dengan dua prinsipal, yang merupakan calon presiden dan wakil presiden. “Pembatasan itu berlaku. Masing-masing pihak dapat membawa 10 kuasa hukum dan dua prinsipal, total 12,” kata Suhartoyo saat meninjau loket pendaftaran PHPU 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Minggu.
Apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak dapat hadir, hanya 10 orang yang diizinkan masuk ke ruang sidang. Pembatasan ini berlaku bagi semua pihak, termasuk pemohon, pihak terkait, KPU sebagai termohon, dan Bawaslu sebagai pemberi keterangan. “Ya, sama, baik itu Bawaslu, KPU, pihak terkait, maupun pemohon,” tambah Suhartoyo.
Sementara itu, jumlah saksi yang dihadirkan dalam sidang juga akan dibatasi. Meski Suhartoyo belum merinci jumlah maksimal saksi yang bisa hadir, dia mengindikasikan bahwa angka tersebut kemungkinan akan sama dengan PHPU pilpres sebelumnya, yaitu 15 saksi.
Menurut Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, pemohon dalam PHPU pilpres adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengajukan gugatan terhadap hasil pilpres yang ditetapkan oleh KPU. Sedangkan KPU adalah termohon dalam kasus ini.
Pihak terkait adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memiliki kepentingan dalam permohonan yang diajukan oleh pemohon. Dengan kata lain, pihak terkait adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi pesaing pemohon dalam kontes pilpres.
Pendaftaran PHPU 2024 berakhir pada Sabtu (23/3) malam. Hingga Minggu pukul 15.00 WIB, total permohonan yang tercatat di situs resmi MK adalah 265 permohonan, yang terdiri dari 2 permohonan PHPU pilpres, 10 permohonan PHPU Pemilu Anggota DPD RI, dan 253 permohonan PHPU Pemilu Anggota DPR RI.
Editor: Red
Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues