LOCUSONLINE, JAKARTA – Jurnalis pembela HAM paling sering melaporkan tindak kekerasan yang terjadi anatara tahun 2018 – 2024 ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
“Data yang kami ambil dari tahun 2018 hingga 2024 menunjukkan bahwa aduan terbanyak yang kami terima di Komnas HAM berkaitan dengan kekerasan, baik secara verbal maupun fisik,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Menteng. Kamis, 28/ 3/ 2024
Uli menjelaskan bahwa sejak 2018, terdapat tujuh kasus pelaporan mengenai kekerasan, yang meliputi ancaman verbal sebanyak lima kasus dan dua kasus penyiksaan.
Di sisi lain, Uli mengungkapkan bahwa ada lima kasus pelaporan terkait pencemaran nama baik.
“Mengenai penggunaan pasal pencemaran nama baik, baik dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), ada lima kasus. Jadi, dua kategori ini yang paling sering diajukan ke Komnas HAM,” tambahnya.
Uli menegaskan bahwa Komnas HAM telah merespons aduan dari para jurnalis pembela HAM paling sering melaporkan tindak kekerasan. Salah satu respons tersebut adalah dengan merumuskan sejumlah standar atau panduan.
“Kami menganggap jurnalis sebagai bagian dari pembela HAM, sehingga kami telah menerbitkan standar tentang pembela HAM, termasuk jurnalis, dalam bentuk panduan. Kami telah menginformasikan panduan ini ke kepolisian dan stakeholder lainnya,” ungkapnya.
Uli juga menambahkan bahwa Komnas HAM telah merumuskan standar tentang hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Untuk menghindari penafsiran yang beragam terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik, kami telah mencoba merumuskan panduan tersebut,” jelasnya.
Meskipun demikian, Uli mengungkapkan bahwa Komnas HAM juga merekomendasikan pendekatan keadilan restoratif untuk kasus pencemaran nama baik yang ditujukan kepada jurnalis.
“Kami merekomendasikan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice di kepolisian, dan kemudian mengkoordinasikan pendekatan ini ke Dewan Pers terkait dengan aduan kode etik, hak jawab, dan lainnya,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, “jadi, kami menunggu rekomendasi dari Dewan Pers. Kemudian, Komnas HAM mencoba melihat dari aspek lainnya, yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan juga sebagai pembela HAM.”
Editor: Red