Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan bahwa aspek keselamatan bagi jurnalis harus tersinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Keselamatan untuk jurnalis harus dibicarakan secara komprehensif, tidak hanya berbicara soal kekerasan, tetapi juga keselamatan terhadap lingkungan kerja yang aman maupun nyaman.
Senada dengan Kemenkominfo dan LBH Pers, Ketua AJI Sasmito Madrim mengatakan bahwa saat ini diperlukan rencana aksi nasional terkait dengan keselamatan jurnalis karena UU Pers secara teknis belum mengatur mengenai kerja sama holistik untuk mementingkan keselamatan jurnalis.
Saat ini upaya untuk menjamin keselamatan jurnalis dinilai masih membutuhkan banyak prosedur sehingga tindakan yang seharusnya bisa diperoleh cepat, tetapi malah sebaliknya yang didapatkan. Misalnya, saat membutuhkan rumah aman dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lebih lanjut, organisasi itu menjelaskan rencana aksi nasional bisa berupa undang-undang khusus yang membicarakan keselamatan seorang jurnalis, sehingga koordinasi lintas kementerian/lembaga maupun pihak-pihak lainnya dapat berjalan lebih baik lagi ke depannya.
Ia juga menyoroti angka kekerasan terhadap perempuan jurnalis berdasarkan Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 yang menunjukkan kondisi di lapangan saat ini perlu diintervensi. Oleh sebab itu, standar operasional prosedur (SOP) pada perusahaan-perusahaan pers di Indonesia perlu dikaji kembali.
Walaupun demikian, organisasi tersebut menilai perusahaan pers di Indonesia telah memahami pentingnya keselamatan bagi seorang jurnalis, hanya masih terkendala sumber daya untuk menyediakan beragam hal penunjang keselamatan bagi jurnalis.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues