“Kalau memang kejaksaan Negeri Garut merasa profesional dalam arti memberikan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan hukum, kenapa enggan transfaran dalam batasan hukum?, bukan harus transfaran telanjang karena itu ada hal-hal atau dokumen yang memang tidak diperbolehkan disampaikan kepada publik maupun pelapor”, tegas Asep.
Maka dari itu, sambungnya, karena kami telah menyampaikan surat tembusan hingga ke Kejaksaan Agung namun tidak ada respon dan tidak ada tanggapan, maka kami akan melaporkannya atau mengadukan kepada Ombudsman RI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan absolut dalam menerima pengaduan terhadap tidak diberikannya pelayanan publik oleh Kejaksaan Negeri Garut.
Asep juga menyebutkan, dirinya pernah memiliki pengalaman, sebelumnya pernah juga mengadukan kepada Kejaksaan Agung melalu Jaksa Agung Pengawasan (Jamwas) namun tidak pernah direspon, akhirnya engadukan kepada Ombudsman. Dan dari pihak Ombudsman RI memberikan penjelasan bahwa teknis penanganan pengaduan di lembaga kejaksaan dikembalkan lagi kepada kejaksaan yang diadukan.
“Pengalaman kami dulu saat mengadukan kejaksaan daerah kepada Kejaksaan Agung melalui pengawasan (JAM Pengawasan/JAMWAS), tidak diindahkan. Dan kami mengadukan kepada Ombudsman RI, namun dalam perjalannya yang menjadi aneh justru kata petugas Ombudsman RI kalau ada pengaduan ke Kejaksaan Agung, itu dikembalikan atau disposisi kembali kepada Kejaksaan yang diadukan, bukan mengambil langkah dan tindakan faktual sesua ketentuan. Jadi atas dasar itulah kami akan melaporkan atau mengadukan kepada Ombudsman RI”, ungkap Asep yang juga berprovesi sebagai advokat.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues