Setelah persidangan, Pengacara ketiga terdakwa, Asep Muhidin, SH., MH menyampaikan, keterangan saksi Dede Wawan Setiawan tercium adanya dugaan rekayasa atau bohong, tidak jujur, itu bisa mencelakai dirinya sendiri.
“Apa yang disampaikan saksi Dede Wawan Setiawan tadi itu ketahuan bohongnya, seperti contoh keterangannya dalam BAP pertama dengan BAP kedua. Pada BAP pertama nama Megi disebut, tetapi pada BAP kedua nama Megi hilang, kami menduga ini ada rekayasa dalam memberikan keterangan. Karena terlihat bagaimana cara saksi Dede menjelaskan kepada majelis Hakim tadi, kan gugup. Ini bisa bahaya loh untuk saksi, bisa jadisetatus saksi berubah menjadi terdakwa”, kata Asep dihalaman Pengadilan Negeri Garut, Kamis, 2/5/2024.
Lanjut Asep, Hakim pun telah memperingatkannya kepada saksi Dede agar jujur, karena Hakim memiliki kewenangan secara ex officio (karena jabatannya) sebagaimana kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 174 KUHP.
Intinya, sebut Asep, klien kami memamg bersalah, dan telah mengakui kesalahannya, namun telah ada perdamaian dengan korban ada kok buktinya dan telah diakui bahkan disampaikan oleh korban kepada Hakim. Kami akan terus menggali fakta-fakta, jangan sampai ada yang terdzolimi. Seperti nama Megi disebut dalam BAP tetapi penyidik tidak memeriksa Megi sama sekali, kan aneh.
Asep mengingatkan agar dalam memberikan kesaksian dipersidangan jangan sekali-kali memberikan kesaksian palsu atau bohong, apalagi merugikan terdakwa.
“Jangan sampai siapapun dalam memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan menerangkan kesaksian bohong, saksi itu telah disumpah dulu loh, terus kalau kesaksian palsu atau bohong itu merugikan terdakwa, jelas bisa dilaporkan berdasarkan Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan “jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”, tegas Asep. (Asep Ahmad/Red.01)

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues