LOCUSONLINE, BANDUNG BARAT – Petani Menjerit Kekurangan Air. Bertahun-tahun sejumlah petani di wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat terpaksa menanam palawija di areal pesawahan lantaran minimnya pasokan air dari D.I Rajamandala untuk mengaliri sawahnya. Akibatnya, produksi padi di daerah tersebut mengalami penurunan derastis yang menyebabkan kehilangan ratusan ton padi setiap tahunnya. Selasa, 21 Mei 2024
Padahal jika sawah dapat teraliri air dengan baik, puluhan sawah tersebut dapat menghasilkan ratusan ton padi di setiap tahunnya.
Udin salah satu petani yang menggarap hampir mencapai 1 hektare di Blok Cikalapa Desa Rajamandala Kulon mengaku dirinya terpaksa menanam cabai lantaran air yang mengaliri sawahnya sangat minim. Hal tersebut menurutnya dikarenakan irigasi mengalami pendangkalan dan banyaknya bocoran-bocoran di sepanjang saluran irigasi yang tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah.
“Jika harus dibandingkan ya mending menanam padi, jika irigasi normal kita bisa dua musim tanam padi dan satu musim palawija tapi karena airnya gak cukup terpaksa tanam palawija meskipun kurang menghasilkan juga,” ungkapnya.
Udin juga mengatakan, keunggulan lainnya menanam padi bisa disimpan lebih lama untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya sementara hasil palawija mudah busuk dan harganya seringkali murah sehingga tidak mendapatkan keuntungan. Jika di Tahun 2017 lahan pesawahan miliknya masih bisa ditanami padi, namun di tahun berikutnya yakni Tahun 2018 hingga sekarang Tahun 2024 tak lagi mampu ditanami padi.
“Harapan saya mah sawah garapan dapat normal lagi bisa di tanami padi, selain dapat memberikan pekerjaan bagi petani lain seperti mencangkul, petik padi, terbantu lah yang gak punya sawah juga,” ujarnya.
Sementara petani lainnya, Unang menyebut jika penyebab kuranya pasokan air dari sungai Cimeta untuk mengaliri lahan-lahan pesawahan karena habis di jalan, terus terjadinya pendangkalan dibendungan sehingga air mengalir pelan dan berkurang.
“Jika itu di keruk kayaknya akan normal lagi sambil di beres-beres sama orang pengairan yang bocor ditambal lagi, insya Alloh dapat sampai lagi ke sini,” ucapnya.
Unang yang juga merupakan pengurus air menyebut, ada 15 hektare di blok Cikalapa yang digarap sekitar 20 petani tidak lagi dapat ditanami padi. itu jadi permasalahan bagi petani lantaran keinginan petani itu nyawah (Tanam Padi).
“Kita sudah berupaya dengan mengalirkan air dari hulu, sampai kesini dibagi-bagi namun tetap saja air gak sampai, air normal namun saluran irigasinya banyak yang bocor dan irigasinya tidak dibabat sama dinas pengairan. Sudah tidak ada perawatan dan normalisasi dari tahun 1997 ditambah pintu-pintu air yang sudah tidak berfungsi,” terangnya.
Menurut Unang, jika air mengalir normal dari 1 Hektare sawah dalam 1 kali panen dapat menghasilkan 5 – 6 Ton.
Terpisah, petani asal Desa Mandalawangi Yuyun Sumarna menyebut sedikitnya ada 25 hektare sawah yang tak lagi ditanami padi lantaran aliran air yang berasal dari D.I Rajamandala tidak sampai ka areal sawah miliknya dan sejumlah petani lainnya di Desa Mandalawangi.
“Sudah bertahun-tahun kami tanami palawija, daripada ‘Gamblung’ (dibiarkan tidak ditanami). Kalau air normal seperti dulu yang mending di tanam padi, karena dulunya juga kan lahan sawah,” singkatnya.
Diwilayah lainnya, tepatnya di Desa Mandalasari, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, di Kp. Bungurjaya sekitar 5 hektare lahan sawah tak dapat ditanami padi selama 3 Tahun. Sementara untuk di Kp. Ciruman 30 hektare lahan sawah selama 2 Tahun tak lagi dapat ditanami padi.
Sementara itu, Sekdis PUTR Kabupaten Bandung Barat, Aan Sopian saat dikonfirmasi mengatakan yang menjadi permasalahan memang klasik yaitu ketergantungan anggaran.
“Khususnya di D.I Rajamandala kita sudah mengajukan melalui DAK ke pusat untuk realisasi tahun 2025. Mudah-mudahan bisa terakomodir segala permasalahan khususnya di Rajamandala yang sangat urgen,” terangnya, Senin (20/05/2024).
Sementara untuk penanganan yang di lakukan, Aan menyebut rutin melakukan pengerukan atau normalisasi yang manual itupun belum bisa maksimal.
“Panjang dari hulu ke hilir D.I Rajamandala sekitar 17 KM, kalau kita normalisasi misal 10 KM dengan rata-rata lebar 1,5 meter dengan kedalaman 1 meter tentu biaya yang sangat jadi fokus permasalahan,” pungkasnya.
Pewarta: Kamil
Editor: Red