“Jurnalisme investigasi bertujuan untuk mengungkap hal-hal yang terjadi dan tidak terungkap melalui saluran formal. Jurnalisme adalah pilar keempat yang berusaha menjaga dan menyampaikan hal-hal yang menjadi hak publik. Pasal 28E Undang-Undang Dasar menegaskan hak konstitusional masyarakat untuk mengetahui,” kata Palguna.
Selanjutnya pasal yang menuai kontroversi adalah Pasal 8A huruf (q) dalam draf Revisi UU Penyiaran, yang memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, selain itu, pasal 42 ayat 2 juga menyebutkan bahwa sengketa jurnalistik akan ditangani oleh KPI.
Menanggapi hal ini, Kordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Yoyo Raharjo, menyatakan bahwa hal ini akan menimbulkan kebingungan dalam menentukan kewenangan penyelesaian sengketa.
“Misalnya, jika ada perusahaan pers yang memiliki media online dan media online tersebut membuat konten di YouTube, apakah sengketa terkait konten tersebut akan ditangani oleh KPI atau Dewan Pers? Ini menjadi kebingungan tersendiri. Jadi, ini memang menjadi masalah. Cara berpikir anggota DPR juga masih agak kacau dan ruwet,” ujar Yoyo dalam Diskusi Terbuka di Universitas Udayana (Unud) Minggu, 26 Mei 2024.
Selain itu, Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang melarang konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik juga menuai kontroversi. Palguna berpendapat bahwa hal ini bersifat terlalu personal dan bukan termasuk dalam ranah hukum publik. Negara-negara maju juga tidak memasukkan hal ini dalam ranah hukum publik, melainkan dalam ranah hukum perdata.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues