LOCUSONLINE, JAKARTA – Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera pada 20 Mei 2024, terus menjadi perbincangan di masyarakat dan mendaptkan penolakan atas kebijakan tersebut.
Salah satu poin utama penolakan adalah perluasan kepesertaan Tapera dari hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi juga pegawai swasta, BUMN, BUMD, BUMDes, TNI/Polri, sampai pekerja mandiri.
Beban iuran 3 persen untuk program ini akan ditanggung bersama oleh pekerja dan perusahaan. Meskipun program ini disebut wajib, beberapa pihak menolak karena potongan gaji tambahan 2,5 persen bagi pekerja. Pengusaha juga keberatan karena harus membayar 0,5 persen dari beban iuran tersebut.
Selain itu, pekerja dan perusahaan juga harus menghadapi beban iuran lainnya seperti pajak penghasilan, jaminan kesehatan, dan jaminan ketenagakerjaan.
Ada juga penolakan dari sejumlah pekerja karena syarat pembiayaan Tapera terbatas pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau dengan gaji maksimal Rp8 juta per bulan, serta yang belum memiliki rumah.
Di sisi lain, peserta Tapera yang tidak termasuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan sudah memiliki rumah dapat memperoleh pembiayaan untuk renovasi rumah atau pengembalian simpanan pokok beserta hasil pemupukannya setelah masa kepesertaan berakhir.
Sebelum adanya Tapera, pemerintah memiliki skema pembiayaan perumahan melalui Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum-PNS).
Meskipun Tapera memiliki beberapa manfaat yang dijanjikan, penolakan dari beberapa pihak menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh melibatkan masyarakat terdampak sebelum terapkan kebijakan.
Menyadari dampak penolakan tersebut, pemerintah perlu berdialog dengan masyarakat, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendengarkan aspirasi mereka sebelum mengambil keputusan final.
Editor: Red