“Honor kami sangat tidak manusiawi. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata, kami bukan hanya mengajar, tetapi membangun masa depan bangsa. Bagaimana kami bisa fokus jika perut kosong dan kebutuhan tak terpenuhi?” ungkap Fitri dengan suara gemetar.
Lebih lanjut Fitri menyebut pernyataan Euis Ida Wartiah merupakan bukti arogansi kekuasaan yang buta akan realitas. Ini memperlihatkan betapa jauhnya para pemimpin dari pemahaman terhadap perjuangan guru honorer. Seharusnya mereka yang duduk di kursi kekuasaan menghargai jerih payah kami, bukan merendahkan.
“Kami meminta perhatian, bukan cemoohan, kami hanya ingin keadilan, kami hanya ingin dihargai,” tegas Fitri.
“Jangan biarkan kami terus berjuang sendirian,” kata Fitri dengan harapan dan air mata hampir tumpah.
Bagai mana bisa terwujud Indonesia Emas 2045 jika sistem pendidikan dan kebijakan yang ada gagal dalam menghargai pahlawan tanpa tanda jasa. Guru honorer seperti Fitri berjuang bukan hanya untuk kehidupan mereka sendiri, tetapi untuk masa depan anak-anak bangsa.
Perjuangan ini belum berakhir, dan Fitri serta ribuan guru honorer lainnya masih menunggu janji yang belum terealisasi. Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan telinga, memperhatikan nasib guru honorer yang mengabdi demi masa depan anak bangsa.
Biarkan kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik kemewahan para pemimpin, ada penderitaan nyata para pejuang tanpa tanda jasa yang terus diberi harapan palsu oleh pemerintah.
Demikian ulasan mengenai “Ketua DPRD Euis Ida Kacang Lupa Kulitnya “Mangga Nangisna Sing Sae” untuk Guru yang Gajinya 400 ribu/ bulan” Simak dan ikuti terus berita di locusonline.co

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues