Mendiang presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai “Gus Dur”, cucu pendiri NU Hasyim Asy’ari, juga merupakan ketua NU terkemuka. Gus Dur memperjuangkan netralitasnya terhadap konflik Israel-Palestina, bertentangan dengan sentimen nasional. Ia mengunjungi Israel beberapa kali untuk dialog antaragama sepanjang tahun 1990an, yang memicu reaksi balik dari kelompok Muslim di negara tersebut.
Yahya menegaskan kembali pendirian NU pada hari Selasa mengenai perlunya gencatan senjata di Gaza, yang telah menyebabkan ribuan korban jiwa akibat serangan balasan Israel menyusul serangan oleh kelompok militan Palestina Hamas di wilayah Israel pada 7 Oktober tahun lalu, yang menghidupkan kembali dekade-dekade- konflik berkepanjangan Israel-Palestina.
Mantan eksekutif NU dan dosen hukum di Monash University Australia Nadirsyah Hosen mengatakan, undangan Israel kepada para aktivis tersebut jelas menyasar status mereka sebagai anggota NU.
“Jika mereka hanya ‘aktivis dan intelektual’, saya yakin mereka tidak akan masuk radar untuk diundang bertemu dengan presiden Israel. Justru karena mereka anggota NU maka diundang,” kata Nadirsyah dalam keterangannya, Selasa.
Nadirsyah mengatakan, para aktivis tersebut, berdasarkan perbincangan daringnya dengan salah satu dari mereka, diundang melalui grup alumni Universitas Harvard yang berbasis di Amerika Serikat di Tanah Air. Undangan tersebut menyatakan bahwa kunjungan tersebut akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan “akademisi dan start-up”.
Ia menyarankan agar semua tokoh masyarakat atau aktivis menahan diri untuk tidak menerima undangan tersebut ketika konflik Gaza masih berlangsung, dengan mengatakan bahwa program-program tersebut “telah berjalan bertahun-tahun dan selalu memicu kontroversi”.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues