LOCUSONLINE, JAKARTA – Dilansir dari detiknews, Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H menjelaskan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mendapat sorotan utama dengan disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022, menyediakan kerangka hukum yang lebih komprehensif untuk penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Sebelumnya, regulasi terkait penanganan kejahatan seksual tersebar di berbagai undang-undang dan seringkali terbatas dalam merespons kejahatan seksual yang marak di masyarakat.
UU TPKS hadir untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara dari kekerasan dan perlakuan merendahkan martabat manusia yang merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan yang merendahkan martabat manusia.
Terobosan dalam UU TPKS mencakup pengkualifikasian jenis TPKS dan tindak pidana yang secara tegas didefinisikan sebagai TPKS. Jenis-jenis TPKS meliputi pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kejahatan seksual dalam lingkungan rumah tangga, dan lainnya. Penekanan pada perlindungan korban dari berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual non fisik seperti catcalling, membantu dalam mengatasi dampak psikologis, hak asasi, dan kerugian ekonomi korban, terutama bagi perempuan.
Hukum acara dalam UU TPKS memberikan landasan yang komprehensif mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan dengan mendukung dan menjaga prinsip-prinsip HAM tanpa intimidasi. Penyidik, jaksa, dan hakim harus memiliki integritas, kompetensi, dan menjunjung tinggi HAM, khususnya dalam penanganan kasus TPKS.
Pentingnya memberikan perlindungan, pendampingan, dan pemulihan bagi korban TPKS dengan memastikan layanan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban menjadi fokus utama UU TPKS. Hak korban untuk mendapatkan restitusi dari pelaku TPKS, pemberian kompensasi oleh negara jika aset pelaku tidak mencukupi, serta pendampingan, bantuan, dan rehabilitasi yang serius bagi korban juga diamanatkan.
Perkara kejahatan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali pada kasus pelaku anak. Namun, perlunya pemahaman yang lebih mendalam terkait “penyelesaian di luar proses peradilan” masih perlu klarifikasi lebih lanjut. Kesadaran atas hak asasi manusia, keadilan, serta kepentingan dan pemulihan korban menjadi hal yang sangat penting dalam menangani TPKS.
Sosialisasi yang masif dan pelatihan kepada aparat penegak hukum, masyarakat, dan organisasi yang terlibat dalam pendampingan korban perlu dilakukan agar implementasi UU TPKS berlangsung efektif. Dengan demikian, tujuan perlindungan masyarakat dari TPKS dapat tercapai.
Penulis Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H adalah peserta didik (Serdik) Sespimti Tahun Ajaran 2024
Editor: Red