Pertama, ketidakmampuan atau ketidakinginan Pemda untuk bertindak. Dapat menyebabkan erosi kepercayaan publik, terhadap integritas dan netralitas proses Pilkada. Publik akan mencurigai, bahwa hukum dan aturan hanya diterapkan secara selektif dan diskriminatif.
Kedua, membiarkan pelanggaran ini tanpa tindakan tegas dapat menciptakan precedent negatif. Pelanggaran aturan oleh aparatur desa atau pihak terkait, menjadi hal yang biasa dan diterima. Hal ini, merusak tata kelola pemerintahan yang baik di tingkat lokal.
Ketiga, ketidakmampuan Pemda Purwakarta untuk bertindak bisa diartikan sebagai pembiaran atas penyalahgunaan wewenang. Di mana Kades dan Perangkat Desa memanfaatkan jabatan mereka, untuk kepentingan politik. Ini berpotensi memicu konflik kepentingan dan ketidakadilan dalam proses Pilkada.
Keempat, jika Pemda Purwakarta tidak mengambil tindakan. Otoritas yang lebih tinggi, seperti pemerintah provinsi atau kementerian dalam negeri bisa turun tangan. Hal ini dapat merusak otonomi daerah dan menunjukkan bahwa Pemda Purwakarta tidak mampu menangani masalah di wilayahnya.
Kelima, Pemda Purwakarta yang membiarkan pelanggaran aturan tanpa tindakan. Bisa dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya, yang dapat mengakibatkan sanksi administratif. Dari otoritas yang lebih tinggi, atau bahkan investigasi oleh lembaga terkait.
Terhadap hal-hal yang semestinya, dengan tidak dilakukan tindakan. Pemda Purwakarta perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang, dari ketidakmampuannya untuk bertindak.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues