LOCUSONLINE, GARUT – Tim Advokasi Ajukan Praperadilan SP3; Tim advokasi yang menangani kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan dana Reses DPRD Garut tahun 2014-2019 akan mengajukan kembali praperadilan terhadap penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Negeri Garut. Kamis, 5 September 2024
Selain itu, tim advokasi yang di gawangi pengacara muda Asep Muhidin. S.H, M.H, akan melaporkan juga kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kerugian negara yang cukup besar, yang dinilai tidak mampu ditangani oleh Kejaksaan Negeri Garut.
Asep mengungkapkan Tim advokasi telah mengantongi bukti permulaan, termasuk bukti surat dan petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Nanti tinggal diperdalam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun bentuk surat sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) KuHAP,” ungkap Asep disela persidangan saat dihubungi tim Locus Online, 5/9/2024.
Asep pun menerangkan bahwa pada putusan Praperadilan nomor 1/Pid.Pra/2024/PN Grt halaman 41-42, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut memberikan keterangan dimuka persidangan bahwa;
“korupsi yang dilakukan anggota dewan periode tahun 2014 sampai 2019 dan hal itu sedang diselidiki tapi tiba-tiba ada SP3, padahal mereka melakukan korupsi dengan dasar kualitas pekerjaan tidak sesuai sekitar tahun 2019 ada potensi kerugian negara dari BOP sebesar Rp. 40 Milyar dan Pokir Rp.140 Milyar”.
Seorang jaksa yang memberikan keterangan sebagai saksi tidak mungkin asal bicara, karena dia mengetahui dan sebagai pelaku dalam melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dana Reses dan dana BOP Pimpinan DPRD Garut tahun 2014-2019.
“Bukti surat tersebut didasarkan pada keterangan Jaksa Kejaksaan Negeri Garut dalam sidang praperadilan sebelumnya, yang menyatakan adanya potensi kerugian negara dari BOP sebesar Rp. 40 Miliar dan Pokir Rp. 140 Miliar,” jelasnya.
Tim advokasi juga akan menyertakan putusan hakim dalam sidang praperadilan sebelumnya sebagai alat bukti surat.
“Kami yakin KPK akan menindaklanjuti laporan kami karena kerugian negara yang cukup besar dan bukti-bukti yang kuat,” ujar perwakilan tim advokasi.
Lalu berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan;
“Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”.
Artinya hakim dinyatakan sebagai pejabat negara, oleh karena itu produk hukum hakim yang berupa putusan dapat menjadi alat bukti surat. Surat dikatakan memiliki nilai keabsahan apabila memenuhi beberapa kualifikasi yaitu terkait keaslian dokumen, isi sebuah dokumen, dan apakah dokumen tersebut dilaksanakan sesuai dengan isinya.
“Dengan demikian putusan hakim bisa sah untuk dijadikan sebagai alat bukti surat,” paparnya.
Langkah ini diambil setelah Kejaksaan Negeri Garut mengeluarkan SP3 terhadap kasus dugaan korupsi tersebut. Tim advokasi menilai bahwa SP3 yang dikeluarkan tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Mereka berharap dengan laporan ke KPK, kasus ini dapat diusut tuntas dan para pelaku dapat diproses hukum. (Asep Ahmad)
Editor: Red