LOCUSONLINE.CO, GARUT – Kasus dugaan korupsi BIJ yang melibatkan sejumlah pihak dengan memanfaatkan fasilitas Bank Intan Jabar (BIJ) Garut memasuki babak baru. Pasalnya, praktek kejahatan perbankan di tubuh anak perusahaan Bank Bjb (Bank Jabar Banten) mulai memunculkan sejumlah nama, termasuk disebut oknum Anggota DPRD Garut, oknum PNS di Pemkab Garut dan mantan Bupati Garut, Rudy Gunawan.
Kondisi memprihatinkan di tubuh BIJ Garut diduga terjadi pada saat Gubernur Jabar dipimpin Ridwan Kamil, Bupati Garut dipimpin Rudy Gunawan dan Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi serta Kejaksaan Negeri Garut dipimpin dr. Neva Sari Susanti.
“Tindak pidana penyimpangan pemberian dana kredit fiktif tersebut diduga terjadi dalam rentang waktu tahun 2018-2021. Artinya, para pemimpin tiga entitas pemilik saham harus diminta pandangannya. Kenapa didalam perusahaan yang diberikan modal begitu besar, malah terjadi praktek dugaan Tipikor. Sehingga saya menilai dugaan praktek kejahatan di BIJ Garut bisa menjadi nilai merah dalam raport kepemimpinan para petinggi pemilik saham,” ujar Asep Muhidin.
Asep Muhidin menegaskan, tiga entitas yang mengelontorkan penyertaan modal kepada BIJ Garut saat itu dipimpin oleh Ridwan Kamil sebagai Gubernur dengan saham sebesar 20 Persen. Bupati Garut dipimpin Rudy Gunawan dengan saham 29 persen dan salah satu Dirut BJB yang dipilih Ridwan Kamil sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2019 adalah Yuddy Renaldi. Sedangkan Bjb sebesar 51 persen.
“Sedangkan berdasarkan informasi yang kami peroleh di lapangan, Kejari Garut pada tahun 2021 melakukan MoU dengan BIJ Garut sebagai bentuk pendampingan hukum. Kita akan mencari tahu apa saja tugas pokok dan fungsi Kejari Garut terhadap BIJ Garut. Karena faktanya ada dugaan korupsi yang begitu fantastis di BIJ Garut,” ujar Asep Muhidin, SH., MH kepada media.
Sementara itu, berdasarkan temuan wartawan dari berbagai sumber, salah satunya pada fakta persidangan yang dipimpin oleh Hakim Dodong Iman Rusdani juga membuka tabir baru. Potensi kerugian negara yang awalnya hanya disebut mencapai puluhan Miliar, jumlahnya ternyata terus bertambah, yakni Rp 125 Miliar. Modus yang dilakukan sejumlah oknum pejabat dan pegawai “penghianat” tersebut dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari kredit fiktif, kredit topengan dan kredit macet.
Selain merugikan negara, belasan warga Garut yang dicatut namanya ikut menjadi korban. Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan setelah mendapat keterangan para saksi, Majelis Hakim pun bertambah geram.
“Kasihan orang-orang ini, karena ulah kalian mereka menjadi korban. Saya yakin masyarakat yang dicatut identitasnya akan tercatat di BI Checking dan akan mendapatkan kendala di kemudian hari,” ujar Hakim Dodong saat mencecar terdakwa Hendra, pada saat agenda menghadirkan keterangan saksi dari Debitur, Rabu (11/09/2024).
Dodong mencontohkan, jika masyarakat yang dicatut sebagai sebagai nasabah fiktif mau membeli kendaraan bermotor secara kredit, maka dipastikan pengajuan mereka tidak akan diterima, karena namanya terdata di sistem perbankan sebagai nasabah yang tidak taat. Padahal mereka tidak tahu apa-apa.
“Kasihan saksi-saksi ini. Mereka tidak tahu apa-apa tapi merasakan dampak akibat perbuatan saudara,” tegas Hakim Dodong kepada terdakwa Hendra di ruang persidangan.
Pegawai Bank Sekaligus Calo Atas Nama Rio
Ariel James, salah satu kuasa hukum tersangka mantan Kepala Cabang BIJ Singajaya, Hendra, usai menghadiri persidangan kasus dugaan korupsi BIJ Garut mengatakan, ada keterangan dari salah satu saksi terkait dugaan keterlibatan mantan Bupati Garut, Rudy Gunawan, tetapi keterangan itu tidak disertai dengan bukti.
“Keterangan itu dari saksi Pak Sugiyanto, tapi untuk pembuktiannya tidak ada. Kita semua tahu sama tahu bahwa tidak ada bukti serah terima. Tidak ada bukti tertulis dan itu hanya sebatas lisan,” jelasAriel, di PN Bandung, Rabu (11/09/2024).
Menurut Ariel, debitur yang menjadi saksi ada dua klasifikasi. Pertama debitur fiktif dan kedua debitur topengan. Debitur topengan yang menikmati uang yang dicairkan pihak BIJ Garut. Dari keterangan debitur topengan ini ternyata uang yang cair dibagi dua, contoh ada yang Rp 25 Juta maka setelah cair uang tersebut dibagi dua. “Uang yang mereka terima tidak ada yang mengalir ke pihak bank. Semuanya dipakai oleh debitur. Sementara debitur fiktif, uangnya masih digunakan untuk kepentingan bank. Tujuannya untuk menekan NPL,” jelasnya.
Ariel James menjelaskan, modus pencairan debitur fiktif menggunakan calo. Dan ternyata pada fakta persidangan terungkap ada salah satu pegawai BIJ Cabang Bayongbong yang berperan sebagai calo tersebut. Calo ini yang mencari pada debitur. Namuan setelah uangnya dicairkan dan dikumpulkan, selanjutnya uang itu dipakai tanpa diketahui para debitur.
“Nama oknum yang terungkap di Persidangan adalah Rio. Rio adalah pegawai BIJ Cabang Bayongbong sekaligus calo. Rio menggunakan caranya sebagai perantara antara pihak BIJ dan debitur,” tandasnya.
Ketika disinggung peran Rio ini bergerak di semua cabang atau di Banjarwangi saja, Ariel menjelaskan, selama ini Rio baru diketahui diduga hanya terlibat di BIJ Banjarwangi. Selama menjalankan aksinya, Rio mendapatkan fee dari hasil pencairan pinjaman ke BIJ sebanyak Rp 4 Juta.
“Berdasarkan keterangan klien saya, Rio ini yang mencari debitur-debitur fiktif. Rio mendapat fee Rp 4 juta. Seharusnya semua debitur ini menerima uang dari Rio, namun ternyata begitu uang diambil oleh Rio, para debitur fiktif ini tidak menerima apa-apa,” katanya.
Sebenarnya, sambung Ariel, semua debitur fiktif tidak tahu ada pencairan dari BIJ, sehingga tidak ada pembayaran sama sekali ke pihak BIJ. “Kalau Fiktif pasti nunggak, karena mereka tidak tahu ada pencairan. Mereka hanya dipinjam data saja,” terangnya.
Sesuai dengan dakwaan Jaksa, debitur fiktif yang terungkap ada 19 debitur. Sedangkan untuk kerugian negara karena debitur fiktif sebanyak Rp 800 Juta. Sedangkan akibat dari debitur topengan nilainya juga mencapai Rp 800 juta. Hanya saja, khusus untuk topengan perlu ada pembuktian, karena ada keterangan dari saksi bahwa modus topengan ini ada yang yang dipakai dan diterima oleh nasabah. “Terlepas uang tersebut digunakan untuk ini dan itu, yang pasti uang tersebut diterima terlebih dahulu. Jadi uang topengan ini tidak ada sedikitpun digunakan untuk kepentingan Bank,” imbuhnya.
Ariel juga berpandangan, dugaan kejahatan di tubuh BIJ Garut ini seharusnya masuk pada dugaan kejahatan perbankan, karena tidak ada debitur yang masuk sebagai terdakwa. Seharusnya, ketika ada kerugian negara, maka harus ada debitur yang ditarik. “Namun karena semua terdakwanya ini adalah pihak Bank, seperti pimpinan cabang, kabid pemasaran dan lainnya, sehingga ini layaknya masuk pada tindak pidana perbankan,” beber Ariel. (Asep Ahmad)