LOCUSONLINE.CO, GARUT – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (kejari) Kabupaten Garut, Fiki Mardani, SH kini menjadi sorotan. Pasalnya, Fiki Mardani merupakan Jaksa yang melakukan penuntutan terhadap salah satu guru ngaji di Kabupaten Garut, Harun Al-Rasyid dan salah satu warga Garut lainnya Abdul Rohman.
Alasan kasus ini bisa mencuat disebabkan adanya dukungan yang besar dari sesama guru ngaji dan mayoritas masyarakat muslim di Kabupaten Garut, bahkan di seluruh Provinsi Jawa Barat serta daerah lainnya seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur serta dukungan dari daerah lainnya.
Pada saat persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fiki Mardani, SH menyampaikan bahwa menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) Permenkes RI Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, pada pokoknya disebutkan secara tegas bahwa “Pembukaan isi Rekam Medis tidak atas persetujuan Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk kepentingan: a. pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum”.
Hal itu disampaikan JPU, Fiki Mardani saat membacakan Replik terhadap nota pembelaan pengacara terdakwa di pengadilan Negeri Garut, Senin (30/12/2024).
JPU juga menyebutkan menurut Pasal 13 Permenkes RI Nomor: 749a Tahun 1989, disebutkan bahwa “rekam medis dapat dipakai sebagai : (i) dasar pemeliharaan dan pengobatan pasien, (ii) bahan pembuktian dalam perkara hukum.
Selanjutnya Fiki juga menyebutkan Pasal 13 Permenkes RI Nomor: 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis yang menyatakan “pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi” yang mana Permenkes tersebut telah diubah dengan Permenkes RI Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis. Akan tetapi masih tetap memiliki esensi yang sama yaitu bahwa rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti surat guna pemenuhan permintaan apparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.
Terpisah, Kuasa Hukum Harun Al-Rashid dan Abdul Rohman, Asep Muhidin, SH., MH mengatakan, dukungan dari masyarakat muslim, khususnya para guru ngaji, kiayai dan tokoh besar muslim terhadap kilennya sangat besar. Pasalnya, kliennya dikenal sebagai warga yang baik, pengayom dan sederhana.
“Klien kami adalah orang yang dihormati, karena prilakunya yang baik. Selain itu, beliau adalah seorang guru ngaji yang sangat sederhana di daerah Suci, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut,” jelas Asep Muhidin, Selasa (31/12/2024).
Ironisnya, tandas Asep, Pak Harun harus dihukum karena dilaporkan salah satu warga ke pihak kepolisian. Berdasarkan data visum et repertum (laporan tertulis dari dokter yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban kekerasan atau mayat yang diakibatkan oleh kejahatan) yang disampaikan pelapor. Karena itulah ustad Harun dijebloskan ke penjara.
“Karena ada laporan dari salah seorang warga Garut yang disertai dengan visum inilah klien kami dinyatakan sebagai terdakwa dengan dakwaan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Padahal, pada fakta persidangan, semua saksi mengaku tidak melihat pemukulan yang dilakukan ustad Harun, apalagi pengeroyokan,” terangnya.
Yang lebih memprihatinkan, tandas Asep Muhidin, JPU, Fiki Mardani ternyata dalam repliknya menggunakan Permenkes yang sudah dicabut atau tidak berlaku untuk memperkuat visum yang dipersoalkan.
“Replik yang disampaikan JPU kepada Majelis Hakim menyampaikan semua Permenkes yang pernah ada. Mulai dari Permenkes RI Nomor: 749a Tahun 1989, Permenkes RI Nomor: 269/MENKES/PER/III/2008 dan terakhir yang berlaku Permenkes RI Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis”
“Dalam hal ini JPU kami anggap telah membuat penyesatan dengan menyebutkan Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 telah diubah dengan Permenkes Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis. Faktanya, Permenkes ini bukan diubah melainkan telah dicabut dan tidak berlaku. Kami menduga ada kesengajaan yang dilakukan JPU untuk memperkuat visum et repertum yang kami anggap cacat formil, tetapi yang dibahas oleh JPU adalah rekam medis, kan ngelantur,” katanya.
Antara visum et refertum dengan rekam medis itu berbeda. Tapi sepertinya JPU mau menyamakan antara visum dengan rekam medis. Selain itu, JPU tidak menjadikan rekam medis ini sebagai bukti, tetapi hanya visum et repertum yang dijadikan bukti.
Untuk itu, terang Asep, semua Kuasa Hukum Ustad Harun akan melaporkan oknum JPU ini ke pihak terkait, karena telah melakukan kelalaian yang berakibat hilangnya hak seseorang.
“JPU seperti ini harus ditindak tegas. Kalau saja kami dan majelis hakim tidak peka, tidak teliti dan tidak hati-hati, maka JPU akan seenaknya membuat dalil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta menyebabkan hak asasi masyarakat terbatasi,” katanya.
Asep menegaskan, untuk mewujudkan penegakan hukum yang profesional, pihaknya akan segera melaporkan JPU Kejari Garut yang menangani kasus ini ke Kejaksaan Agung Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI.
“Kalau masyarakat salah, sedikit-sedikit dilaporkan, diproses langsung dan langsung dipenjara. Apalagi kasus pak Harun ini banyak sekali kejanggalan yang membuat lembaga hukum semakin buruk di mata masyarakat. Untuk itu, Jaksa seperti ini harus diproses hukum secara tegas,” katanya.
Sementara, pihak JPU, Fiki Mardani dan pihak Kejari Kabupaten Garut saat dihubungi melalui pesan Whats App, Selasa (31/12/2024) belum merespon konfirmasi yang disampaikan media. (asep ahmad)
Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues