Dengan demikian, Asep tidak pernah mempermasalahkan soal menang atau kalah. Karena dirinya tidak akan pernah tahu kapan menang dan kapan kalah.
“Waktu itu gaib, namun tentunya saya harus punya prediksi yang dibuat secara empiris. Ilmu dan data yang saya punya, saya kombinasikan menjadi sebuah gerakan dalam bentuk pelaporan atau gugatan. Kalau argumen dan data saya kuat, maka saya yakin bisa menang, tapi saya juga harus menerima kalau saya kalah. Intinya, semua yang ada di hadapan kita adalah media pembelajaran,” katanya.
Tidak Memiliki Target Bekerja di Pemerintah atau Lembaga Politik
Biasanya, setiap orang yang belajar di sebuah lembaga pendidikan, maka hampir seluruhnya memiliki terget untuk bekerja. Namun hal itu tidak berlaku untuk Asep Muhidin. Sebelum kuliah, disaat kuliah bahkan sesudah menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 (S2), Asep Muhidin tidak pernah memiliki target untuk bekerja atau mendapat perkara.
Sebenarnya, peluang karier bagi lulusan HTN dari universitas mana saja memiliki jenjang karier yang luas, seperti konsultan hukum pemerintahan, staf ahli legislatif, atau bekerja di lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK), namun dirinya tidak pernah terbersit sedikit pun untuk bekerja pada lembaga itu.
“Yang saya lakukan adalah mengaplikasikan setiap pemahaman saya tentang hukum. Sehingga, apapun yang saya lakukan itu mengalir apa adanya. Namun tentu, fakta yang saya dapatkan selama ini ilmu hukum yang saya pelajari sangat bermanfaat bagi saya dan masyarakat dan Pemerintah,” imbuhnya.
Membantu Kebebasan Pegi Setiawan
Kasus dugaan pembunuhan terhadap dua warga Cirebon, Vina dan Eki sempat menggegerkan dunia. Pasalnya, kematian dua sejoli tersebut diduga melibatkan banyak pihak dan dikait-kaitkan dengan berbagai peristiwa di Indonesia. Bahkan, sejumlah tokoh politik dan tokoh nasional di Indonesia ikut terjun mendalami dan ikut melakukan penelusuran tentang kisah kematian Vina dan Egi.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues