LOCUSONLINE, GARUT – Keputusan Pemerintah Kabupaten Garut yang mengizinkan pembuangan sampah dari Kota Bandung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pasirbajing menuai polemik. Kesepakatan ini, yang mencakup pengangkutan 200 ton sampah per hari selama 90 hari, disertai janji kompensasi berupa retribusi sebesar Rp75.000 per ton, perbaikan akses jalan, dan penerangan jalan umum (PJU).
Namun, di balik janji manis tersebut, keputusan itu justru sarat dengan cacat hukum, berpotensi merusak lingkungan, dan mengancam citra Garut sebagai destinasi wisata unggulan.
Dilansir dari GOSIPGARUT.ID, Wakil Ketua Kadin Garut, Galih F Qurbany, menilai kerja sama tersebut tidak sah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah, setiap perjanjian yang berdampak signifikan terhadap pelayanan publik atau keuangan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
“Langkah ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mencerminkan buruknya tata kelola pemerintahan,” ucap Galih.
Galih menambahkan bahwa kerja sama ini juga menjadi ancaman besar bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat Garut. Dengan kapasitas TPA Pasirbajing yang sudah kritis dan minimnya teknologi pengelolaan sampah modern, pembuangan tambahan 200 ton sampah per hari akan mempercepat kerusakan ekosistem di sekitar lokasi.
“Tanpa fasilitas seperti waste to energy atau anaerobic digestion, sampah akan terus menumpuk, menghasilkan leachate (lindi) yang mencemari tanah dan air tanah, serta gas metana yang mencemari udara,” tandas Galih.
Pencemaran itu, lanjutnya, tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan masyarakat, seperti penyakit pernapasan, infeksi kulit, dan penyakit serius lainnya akibat paparan zat kimia berbahaya.
Keputusan ini juga menodai citra Garut sebagai kota wisata. Dengan keindahan alam, potensi budaya, dan kekayaan tradisi, Garut telah lama menjadi tujuan wisata favorit.
“Namun, keberadaan TPA yang dipenuhi sampah dari daerah lain akan menghancurkan citra tersebut,” kata Galih.
Galih juga menilai bahwa kompensasi yang ditawarkan oleh Kota Bandung tidak sebanding dengan dampak besar yang akan ditanggung oleh masyarakat Garut. Retribusi Rp75.000 per ton dan fasilitas perbaikan akses jalan serta PJU adalah penghinaan terhadap harga diri Garut.
“Apakah daerah yang memiliki potensi besar di sektor pariwisata dan ekonomi ini harus menjual martabatnya dengan harga serendah itu? Keputusan ini memperlihatkan lemahnya visi pemerintah daerah dalam melihat dampak jangka panjang, serta cenderung menunjukkan ketergantungan pada solusi jangka pendek yang merugikan,” tanya Galih.
Solusi Teknologi dan Pembangunan Berkelanjutan
Galih menekankan bahwa teknologi seperti waste to energy dapat menjadi solusi yang tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga menghasilkan energi listrik. Sistem anaerobic digestion dapat mengolah limbah organik menjadi biogas dan pupuk, sementara material recovery facility (MRF) memungkinkan pemisahan sampah untuk didaur ulang.
“Investasi pada teknologi ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah sampah, tetapi juga menciptakan pendapatan baru dan lapangan kerja bagi masyarakat Garut,” jelasnya.
Ajakan untuk Menolak Kebijakan yang Merugikan
Galih berpendapat bahwa jika kesepakatan ini terus berlanjut, Garut tidak hanya akan kehilangan citra positifnya, tetapi juga menyeret masyarakatnya dalam krisis lingkungan dan kesehatan yang berkepanjangan.
“Pemerintah Kabupaten Garut harus membatalkan kerja sama itu, melakukan evaluasi mendalam, dan fokus pada pembangunan sistem pengelolaan sampah modern yang mampu mengatasi masalah tanpa mengorbankan lingkungan dan masyarakat,” harap Galih.
“Sebagai masyarakat Garut, kita tidak boleh diam. Ini bukan sekadar masalah teknis atau administratif, tetapi soal masa depan, harga diri, dan martabat kita sebagai daerah yang memiliki potensi besar. Kita harus menolak kebijakan yang ceroboh dan memaksakan solusi jangka pendek yang merugikan,” katanya.
Galih menekankan bahwa Garut harus bangkit sebagai daerah yang mandiri, berdaya, dan berkelanjutan, bukan sekadar tempat pembuangan sampah bagi daerah lain.
“Mari jaga Garut tetap menjadi kota wisata yang membanggakan, bukan kota sampah yang memalukan,” tegasnya.
Editor: Bhegin