Ia mengutarakan bahwa UU Kejaksaan memberi kewenangan kepada jaksa untuk menjadi penyidik tindak pidana tertentu. Jika jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu, berarti jaksa sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).
PPNS dalam melaksanakan tugasnya diawasi serta harus berkoordinasi dengan penyidik kepolisian. Namun, dia mempertanyakan apakah jaksa sebagai PPNS sudah melakukan koordinasi dengan Polri atau justru sebaliknya.
Selain itu, kata dia, penyidik yang dikenal dalam KUHAP, yakni Polri dan PPNS, harus mengikuti dan lulus diklat di bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh Polri untuk mendapatkan sertifikasi. Dalam hal ini, jaksa tidak memiliki hal tersebut.
Dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), lanjut dia, penyidik harus memberi tahu jaksa paling lambat dalam waktu 7 hari.
“Lantas kalau jaksa naik sidik sendiri, kepada siapa jaksa memberi SPDP-nya?” tutur dia.
Haidar khawatir jika kejaksaan diberikan kewenangan penuh dalam perkara pidana melalui asas dominus litis, koordinasi horizontal, dan saling mengawasi antarpenegak hukum tidak berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, dia mengajak masyarakat untuk mengawasi revisi UU Kejaksaan dan KUHAP agar tidak dijadikan alat penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menodai pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto.
“Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP itu ‘kan usulan DPR, bukan Pemerintah. DPR adalah pengawas Pemerintah dan lembaga eksekutif. Mereka pengawas yang harus diawasi. Rakyatlah yang bisa menjadi pengawas terbaik bagi DPR,” katanya.
