Dikutip dari Tempo, Ketua Komisi VI DPR, Anggia Ermarini, menyatakan bahwa terdapat sepuluh poin perubahan dalam UU BUMN yang baru. Salah satu perubahan utama adalah pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan BUMN.
Kini, peran operator atau pengelola BUMN tidak lagi berada di bawah Kementerian BUMN, melainkan dialihkan kepada BPI Danantara, sementara Kementerian BUMN berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan pengawas.
Alamsyah memaparkan bahwa tanpa dikelola Danantara, korupsi di perusahaan pelat merah sudah terjadi. Pada periode 2016 hingga 2021, ICW pernah melakukan pemantauan 119 kasus korupsi yang terkait dengan BUMN. Hasilnya terjadi penyelewengan uang negara dengan nilai kerugian lebih dari Rp 40 triliun.
Dengan munculnya Danantara, kata dia, aparat penegak hukum bakal makin sulit melakukan upaya penegakan hukum terutama untuk kasus korupsi. “Ini sangat krusial. Karena akan jadi celah besar bagi kelompok tertentu untuk meraup sejumlah dana untuk kepentingan pribadi,” ucapnya.
Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, juga mengkhawatirkan model pengawasan ini. “Masa tidak boleh diperiksa BPK?” ujarnya kepada Tempo.
Kebijakan baru ini menurut Harris juga bakal berdampak pada target penerimaan yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Karena selama ini negara mendapat penerimaan dari dividen BUMN. Harris menilai proyeksi penerimaan APBN dari setoran dividen tahun ini bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun.
ICW dan beberapa anggota DPR mengkhawatirkan bahwa Danantara akan menjadi celah baru bagi korupsi dan melemahkan pengawasan terhadap BUMN. Mereka mendesak agar pengawasan terhadap Danantara tetap dilakukan secara ketat dan transparan untuk mencegah potensi korupsi.
