LOCUSONLINE, JAKARTA – Bintik Kebangkitan Dwi Pungsi TNI dan Orba: Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang tengah dibahas DPR dan pemerintah menuai gelombang kecaman dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil dan pengamat politik. Mereka mengkritik keras proses revisi, khususnya perluasan peran militer aktif dalam jabatan sipil. Senin, 17 maret 2025
Revisi UU TNI yang menambah jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 16, dianggap sebagai perluasan, bukan pembatasan, peran TNI di ranah sipil. Hal ini memicu kekhawatiran akan potensi ancaman terhadap demokrasi dan inkonsistensi dengan program efisiensi pemerintah.
Ray Rangkuti dari Lingkar Madani (LIMA) dan Hendri Satrio dari KedaiKOPI menyoroti sejumlah masalah dalam revisi UU TNI. Rangkuti mempertanyakan urgensi rapat pembahasan revisi yang digelar di hotel mewah, mengingat mayoritas fraksi telah menyatakan setuju terhadap draf pemerintah. Ia menilai hal ini bertentangan dengan program efisiensi pemerintah.
“Apasih urgensi dari rapat pembahasan revisi UU TNI sehingga digelar di hotel mewah, hal ini sangat bertentangan dengan program efisiensi pemerintah,” ujarnya.
Hendri Satrio, mengingatkan bahaya frasa “sesuai kebijakan Presiden” dalam Pasal 47 ayat (2), yang dinilai berpotensi merusak demokrasi karena ketidakjelasan kondisi Presiden saat pengambilan keputusan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menolak revisi UU TNI, yang dianggap tidak mendesak dan berpotensi memperluas dwifungsi TNI. Mereka mengkritik perluasan peran TNI di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta mendesak prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil di luar 10 lembaga yang diizinkan dalam UU TNI untuk mengundurkan diri.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”