Ayat ini menunjukkan bahwa hubungan suami istri bukan hanya sebagai pemenuhan hasrat, tetapi juga sarana untuk memperoleh keturunan. Dalam pandangan Islam, anak tidak hanya dilihat sebagai penerus garis keturunan, tetapi juga sebagai investasi amal jariyah di akhirat:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Baca juga :
Holil Aksan: Korupsi Bukan Pajak, Pengembalian Uang Tak Hapus Dosa Pencuri Uang Rakyat
Dengan demikian, keputusan untuk menghentikan secara permanen kemampuan reproduksi bukanlah hal yang ringan dalam kacamata Islam.
Pandangan Fiqih Mengenai Vasektomi
Dari perspektif fiqih, para ulama mengkaji permasalahan ini dalam kerangka hukum Islam. Secara umum, terdapat tiga pandangan utama:
- Pendapat yang Melarang Secara Mutlak
Pendapat ini berpijak pada prinsip bahwa vasektomi merupakan bentuk ta’thil an-nasl (penghentian keturunan) secara permanen, yang dilarang dalam Islam kecuali dalam kondisi darurat. Tindakan ini dianggap menyerupai mutilasi terhadap fungsi tubuh yang diciptakan oleh Allah untuk tujuan tertentu. Pendapat ini didukung oleh sebagian besar ulama klasik, terutama dari mazhab Hanafi dan Maliki. - Pendapat yang Melarang Kecuali karena Darurat
Mazhab Syafi’i dan Hanbali umumnya memberi ruang toleransi atas dasar darurat syar’iyyah. Misalnya, jika istri memiliki riwayat medis yang membahayakan nyawanya jika hamil kembali, maka sterilisasi bisa dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir. Dalam hal ini, fatwa-fatwa kontemporer dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dar al-Ifta Mesir menyatakan bahwa vasektomi dapat dibolehkan bila:- Tidak dilakukan secara paksa.
- Telah melalui konsultasi medis.
- Mendapat persetujuan pasangan.
- Dilandasi oleh alasan syar’i, bukan karena kebencian terhadap anak atau keinginan hidup bebas dari tanggung jawab keluarga.
- Pendapat yang Membolehkan Secara Longgar
Sebagian kecil ulama kontemporer menyatakan bahwa dalam konteks dunia modern, dengan meningkatnya tekanan ekonomi dan persoalan kependudukan, sterilisasi dapat diterima sebagai bagian dari pengendalian keluarga secara bertanggung jawab. Namun, pendapat ini tetap mensyaratkan bahwa tindakan tersebut harus melalui proses pertimbangan matang, melibatkan otoritas medis dan ulama.
Baca juga :
Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues