LOCUSONLINE – Dibalik tampilan lusuh dan usang uang kuno, tersimpan nilai sejarah dan ekonomi yang luar biasa tinggi. Bagi sebagian orang, uang kuno hanyalah benda masa lalu yang tidak lagi berlaku.
Dimata kolektor, selembar atau sekeping uang lama bisa bernilai ratusan juta rupiah, bahkan lebih, tergantung dari kelangkaannya dan cerita yang menyertainya.
Fenomena ini menjadikan uang kuno bukan sekadar barang koleksi, tetapi juga instrumen investasi alternatif yang potensial.
Baca juga :
Korupsi Iklan Prahara Bank BJB, Tetap Fokus Layani Nasabah dan Hormati Proses Hukum
Uang Kuno yang Pernah Terjual Hingga Ratusan Juta Rupiah
Beberapa contoh uang kuno Indonesia yang telah terjual dengan harga fantastis antara lain:
- Uang Kertas Rp1000 Tahun 1945 (Oeang Repoeblik Indonesia)
Dikenal sebagai salah satu uang pertama yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah Proklamasi, uang ini sangat langka. Dalam lelang kolektor, selembar uang ini pernah terjual dengan harga lebih dari Rp100 juta, tergantung kondisi dan nomor serinya. - Uang Koin Emas Hindia Belanda (Duit Emas)
Koin emas dari abad ke-18 dan ke-19 yang dicetak oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama yang berasal dari seri VOC dan memiliki kadar emas tinggi, bisa mencapai harga Rp150–300 juta di pasar kolektor internasional. - Uang Kertas Seri Soekarno 1964 (Pecahan Rp100)
Dengan desain ikonik bergambar Presiden Soekarno sedang memegang tangan anak kecil, uang ini dikenal langka, terutama jika masih dalam kondisi uncirculated. Di beberapa situs koleksi luar negeri, harganya bisa mencapai Rp50–100 juta untuk versi dengan nomor seri cantik atau cetakan terbatas. - Uang Seri Seri Misprint (Salah Cetak)
Kesalahan dalam proses pencetakan, seperti gambar terbalik, tinta ganda, atau posisi nomor seri yang tidak lazim, justru membuat uang menjadi sangat berharga. Beberapa lembar uang pecahan Rp500 atau Rp1000 tahun 1980-an yang mengalami misprint dijual hingga Rp70–150 juta tergantung jenis kesalahannya.
Baca juga :
Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues