Menurutnya, melibatkan militer dalam penanganan pelajar bermasalah justru dapat menyalahi hak anak untuk memperoleh pendidikan yang inklusif dan tidak diskriminatif. Ia juga mengingatkan bahwa anak adalah kelompok rentan yang harus dilindungi dari paparan budaya kekerasan.
“Ini bukan solusi. Anak-anak dikirim ke lembaga yang punya rekam jejak kekerasan. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru memperburuknya,” tambahnya.
Annisa menilai pembinaan terhadap masyarakat sipil seharusnya menjadi tanggung jawab lembaga sipil, seperti KPAI atau Komnas Anak, yang memiliki kompetensi di bidang perlindungan anak dan pendidikan.
Peneliti dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, turut menyuarakan kekhawatirannya. Ia menyebut keterlibatan TNI dalam program ini bisa memperkenalkan siswa pada budaya kekerasan yang masih menjadi persoalan di tubuh aparatur negara.
Ia menegaskan bahwa pembentukan karakter melalui pendekatan fisik tidak hanya berisiko melegitimasi kekerasan, tetapi juga mengabaikan pendekatan berbasis riset dan kebijakan sistemik yang seharusnya menjadi dasar dalam menangani masalah pelajar.
“Penanganan seharusnya melibatkan psikolog, pendidik, dan instansi terkait seperti Dinas Pendidikan dan Kementerian Sosial. Bukan melalui pendekatan militer,” katanya.
Menurutnya, perluasan peran TNI ke ranah sipil melanggar batas yang diatur dalam Undang-Undang TNI, bahkan setelah revisi UU tersebut. Ikhsan menilai hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap fungsi militer dalam negara demokratis.
