“Kami tidak akan memberikan sanksi. Ini kembali ke fungsi orang tua,” katanya.
Pernyataan itu menunjukkan lemahnya peran negara dalam menjamin keberhasilan regulasi yang menyasar keamanan dan pembinaan anak di luar jam sekolah. Tanpa peran aktif aparat, sekolah, dan masyarakat, beban justru dilimpahkan sepenuhnya kepada keluarga—seolah negara hanya bertindak sebagai pengingat moral tanpa perangkat penegakannya.
Dani berdalih kebijakan ini sejalan dengan konsep “Anak Indonesia Hebat” versi Kemendikbud yang menekankan pentingnya tidur awal, olahraga, dan ibadah. Namun tidak ada penjelasan bagaimana konsep tersebut akan dipraktikkan di lapangan tanpa mekanisme evaluasi.
Aulia juga menilai kebijakan ini tidak serta-merta membatasi kreativitas pelajar, mengingat waktu yang dibatasi memang jam istirahat. Tapi jika pemerintah ingin kebijakan ini berdampak positif, ia menekankan pentingnya akuntabilitas dan pengukuran hasil.
Jam malam dikecualikan untuk pelajar yang mengikuti kegiatan pendidikan, keagamaan, sosial di bawah pengawasan orang tua, serta dalam kondisi darurat. Namun, pengecualian ini justru membuka ruang multitafsir di lapangan.
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mendukung kebijakan ini, menyebutnya sejalan dengan razia minuman beralkohol. Namun, jika pendekatan penegakan hanya sebatas seruan moral dan imbauan, efektivitasnya dipertanyakan.
Program sosialisasi lewat parenting, guru BK, hingga konten media sosial yang direncanakan dinas pendidikan pun tampak lebih bersifat kosmetik ketimbang strategi pengawasan yang konkret.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”