Dalam kondisi ini, Prabowo berada dalam tekanan besar: mempertahankan Gibran dapat menciptakan persepsi bahwa pemerintahannya dikendalikan bayang-bayang Jokowi, sementara mengakomodasi tuntutan pemakzulan bisa merusak stabilitas koalisi dan memicu konflik terbuka antara elite sipil dan militer.
Isu ini semakin pelik karena didasari aspirasi moral dari para purnawirawan TNI—lingkaran yang sangat dihormati Prabowo sebagai mantan jenderal. Mereka menuntut tegaknya etika konstitusional, bukan sekadar balas dendam politik.
Sementara itu, dugaan keterlibatan Gibran dalam akun Fufufafa belum terbukti secara hukum. Tanpa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, wacana pemakzulan berisiko menabrak prinsip legalitas dan menciptakan preseden berbahaya bagi demokrasi.
Penasihat Khusus Presiden, Wiranto, menegaskan bahwa Prabowo belum mengambil sikap atas tuntutan Forum. Kajian mendalam masih dilakukan, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga stabilitas dan konstitusionalitas pemerintahan.
Kini, Prabowo menghadapi dilema berat: apakah akan berdiri di belakang loyalitas politik atau mendengarkan tekanan moral dari para seniornya di tubuh TNI? Dalam tarik-menarik antara kekuasaan, etika, dan hukum, keputusan Prabowo bisa menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan—menuju kemandirian politik atau terjebak dalam politik bayangan. (BAAS)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”