LOCUSONLINE, GARUT – Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih yang kini digencarkan pemerintah di berbagai wilayah kembali mengingatkan publik pada pola kebijakan lama yang minim kajian, terkesan dipaksakan, dan berorientasi kejar target. Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi desa, koperasi ini justru dikhawatirkan hanya menjadi simbol administratif belaka—jauh dari semangat pemberdayaan yang sesungguhnya. Minggu, 1 Juni 2025
Top-Down dan Minim Partisipasi
Di banyak desa, pembentukan Koperasi Merah Putih berlangsung cepat, tanpa diskusi menyeluruh dengan masyarakat atau analisis potensi lokal. Aparat desa lebih sering menerima perintah dari atas untuk segera membentuk koperasi, lengkap dengan struktur organisasi dan legalitasnya, tanpa panduan teknis yang memadai. Dalam situasi seperti ini, sangat jelas bahwa pendekatan partisipatif diabaikan demi pencapaian angka-angka keberhasilan semu.
Sejumlah tokoh masyarakat mengaku tak paham mengapa koperasi ini harus dibentuk, untuk siapa manfaatnya, dan bagaimana kelangsungan operasionalnya. Akibatnya, banyak yang hanya menjalankan instruksi agar terhindar dari tekanan administratif, bukan karena dilandasi kebutuhan nyata.
Ulangi Kesalahan BUMDes
Kondisi ini seolah mengulang kesalahan program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dulu juga dikampanyekan secara besar-besaran, namun banyak yang berakhir stagnan bahkan mati suri. Salah satu sebab utama kegagalan BUMDes adalah karena pendiriannya dilakukan secara serentak dan tergesa, tanpa pemetaan potensi lokal dan kesiapan sumber daya manusia.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”