Banyak BUMDes yang akhirnya hanya eksis di atas kertas, karena masyarakat tidak memahami perannya, dan pengurusnya tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan bisnis. Program yang seharusnya menjadi solusi atas persoalan ekonomi desa justru menambah beban baru: aset mangkrak, keuangan tidak transparan, dan kepercayaan publik yang hilang.
Kini, skema pembentukan Koperasi Desa Merah Putih menunjukkan gejala serupa. Tanpa perubahan pendekatan, koperasi ini berisiko menjadi “BUMDes jilid dua”—gagah di laporan, tapi lumpuh di lapangan.
Kebijakan Kejar Setoran
Alih-alih fokus pada kualitas, kebijakan ini justru terjebak pada logika kejar setoran. Pemerintah daerah berlomba-lomba menyetorkan data jumlah koperasi yang terbentuk, sementara kondisi riil di desa menunjukkan bahwa banyak koperasi belum memiliki rencana bisnis, belum memahami sistem keuangan koperasi, bahkan belum memiliki anggota yang aktif.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, turut mengkritisi langkah ini. “Pemerintah terlalu tergesa dalam menyiapkan koperasi di desa tanpa peta jalan yang jelas. Ini bukan sekadar soal jumlah koperasi, tapi soal kelayakan usaha. Kalau hanya kejar angka, ya akhirnya koperasinya fiktif atau tidak beroperasi optimal,” ujarnya.
Tanpa Kajian, Rawan Gagal
Pemerintah tampak terlalu percaya diri bahwa koperasi adalah jawaban universal bagi masalah ekonomi desa. Padahal, setiap desa memiliki karakteristik unik, baik dari segi sumber daya, budaya, hingga dinamika sosial-ekonomi. Menyeragamkan solusi tanpa kajian mendalam justru berpotensi menciptakan masalah baru.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”