“Imunitas yang terbentuk sudah cukup. Tidak perlu vaksinasi ulang jika tak ada bukti ilmiah kuat. Jangan sampai malah disangka Menkes jualan vaksin lagi,” ujarnya.
Ia juga menyebut penggunaan vaksin Sinovac yang berbasis virus utuh menjadi salah satu faktor pendukung daya tahan imunitas di Indonesia, berbeda dengan vaksin mRNA yang rentan terhadap mutasi virus.
Meski tidak lagi bersifat darurat, para ahli menegaskan COVID-19 belum sepenuhnya lenyap. Pakar epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan bahwa infeksi berulang tetap memiliki risiko jangka panjang, seperti long COVID yang dapat menyerang jantung dan organ vital lainnya.
“Gejalanya sekarang memang ringan, tapi infeksi yang terus berulang bisa berdampak serius,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Hermawan Saputra dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Ia menilai risiko masih tinggi bagi kelompok rentan, seperti penderita penyakit kronis, autoimun, dan lansia. Hermawan mendorong pemerintah melakukan skrining ketat di pintu masuk negara serta memperkuat pengawasan lewat whole genome sequencing (WGS) guna memetakan varian dominan yang beredar.
Kedua pakar menepis anggapan bahwa lonjakan kasus merupakan propaganda atau rekayasa. Mereka menegaskan bahwa virus SARS-CoV-2 masih bersirkulasi di masyarakat meski dampaknya kini cenderung ringan berkat imunitas dari vaksinasi dan infeksi sebelumnya.
“Status endemik bukan berarti virus hilang. Seperti DBD, COVID-19 tetap ada dan bisa mewabah sewaktu-waktu,” tegas Hermawan.
Sebagai langkah preventif, masyarakat diimbau tetap menerapkan pola hidup bersih dan sehat, termasuk menggunakan masker di tempat ramai dan menjaga kebersihan tangan. (BAAS)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”