Ketimpangan ini mencolok. Di saat banyak ASN fungsional kehilangan dana operasional bahkan jarang mendapat kesempatan perjalanan dinas, para pejabat justru mendapat mobil baru nyaris miliaran rupiah dan penginapan kelas atas. Agus menilai, mobil di bawah Rp500 juta sudah cukup untuk menunjang kerja birokrasi. “Itu pun irit bahan bakar dan cukup layak. Jadi bukan persoalan tidak bisa bekerja, tapi soal gaya hidup pejabat yang dipelihara negara,” tambahnya.
Pengajar kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, juga menilai standar yang ditetapkan terlalu tinggi. Ia menyarankan agar kendaraan dinas disewa, namun dengan plafon biaya yang wajar. “Kalau pemerintah benar-benar ingin efisiensi, LCGC atau mobil lokal sudah memadai. Anggaran lebih baik dialihkan untuk operasional staf,” ucap Yogi.
Menurutnya, ketika anggaran pembangunan dikorbankan demi mempertahankan kenyamanan pejabat, maka birokrasi akan semakin lesu. “Tanpa dana operasional, ASN hanya duduk menikmati gaji. Tidak akan ada gerak.”
Realita di lapangan juga menunjukkan ironi lainnya: pejabat bepergian dengan kelas bisnis, iringan kendaraan panjang, dan fasilitas premium, sementara program strategis dan layanan publik dikurangi atau ditunda karena alasan keterbatasan anggaran.
Kritik pun menguat. Jika standar fasilitas tak ditinjau ulang, maka wacana efisiensi Presiden Prabowo hanya akan menjadi slogan kosong. Agus menekankan, semangat penghematan harus menyeluruh, bukan hanya menyasar pegawai bawah. “Ini soal keadilan dan akal sehat. Bila pembantu presiden tak mampu koreksi diri, jangan harap publik percaya pada janji perubahan,” tegasnya. (BAAS)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”