Budi Sylvana hanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Ahmad Taufik menerima vonis 11 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp224,18 miliar. Sementara Satrio Wibowo divonis 11,5 tahun, dengan kewajiban membayar Rp59,98 miliar sebagai uang pengganti.
“Logika hukumnya tidak masuk akal. Kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah, tapi vonisnya ringan. Bagaimana rakyat bisa percaya pada lembaga peradilan?” sindir Yudi.
Desakan Evaluasi Komisi Yudisial dan Aparat Penegak Hukum
Yudi mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk turun tangan dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tren vonis ringan dalam perkara korupsi. Ia juga menekankan perlunya penegak hukum—termasuk KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan—untuk memperkuat proses pembuktian di persidangan agar hakim tak memiliki celah mengabaikan bukti kuat.
“Kalau jaksa sudah membuktikan dengan alat bukti yang kokoh, tapi vonisnya tetap ringan, ini menjadi alarm bagi kita semua. KY harus bersikap. Negara tak boleh tunduk pada logika hukum yang merusak keadilan,” ujar Yudi.
Vonis ringan dalam kasus korupsi yang terjadi saat rakyat berjibaku menghadapi pandemi tak hanya menyakitkan, tetapi juga mempermalukan hukum itu sendiri. Jika fenomena ini dibiarkan, maka pemberantasan korupsi akan lumpuh—dan kepercayaan publik pada keadilan bisa benar-benar hilang. (BAAS)
