Sebelumnya, dalam wawancara di program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025), Fadli Zon menyebut narasi pemerkosaan massal 1998 sebagai cerita yang tidak pernah terbukti. “Betul enggak ada pemerkosaan massal? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu hanya cerita. Kalau ada, tunjukkan,” katanya.
Fadli juga mengaku telah lama membantah temuan TGPF dan menilai sejarah seharusnya ditulis dengan nada positif. Ia menyebut pemerintah saat ini sedang menyusun penulisan ulang sejarah melalui Kementerian Kebudayaan yang menurutnya harus “menyatukan bangsa” dan tidak menonjolkan kesalahan masa lalu.
Namun pernyataan itu segera dikritik berbagai kalangan, termasuk Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menyebut pernyataan Fadli sebagai “kekeliruan fatal”.
Para pegiat HAM mengingatkan, revisi sejarah tanpa pengakuan terhadap pelanggaran HAM masa lalu berisiko menghapus luka kolektif bangsa dan melemahkan perjuangan keadilan bagi korban. Saat negara ditantang untuk jujur pada masa lalunya, menyangkal bukan hanya salah langkah, tapi juga bentuk kekerasan baru terhadap para penyintas. (BAAS)
