Bima menjelaskan bahwa proses penetapan batas wilayah telah berlangsung sejak 2008 dan melibatkan survei lapangan serta kesepakatan antara perwakilan pemerintah provinsi. Namun, munculnya berbagai pandangan baru menurutnya menjadi landasan untuk penyempurnaan.
“Proses ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, menggunakan teknologi pemetaan modern, dan tentu koordinasi antarlembaga. Pemerintah dan kepala daerah bisa berganti, tapi dokumen dan proses administratif harus tetap akurat dan akuntabel,” katanya.
Kemendagri dijadwalkan menggelar dua rapat penting pekan depan. Rapat pertama akan digelar Selasa (17/6) dengan menghadirkan Tim Pembakuan Nama Rupabumi (PNR) dan jajaran internal Kemendagri. Keesokan harinya, Rabu (18/6), Mendagri Tito Karnavian akan mengundang tokoh masyarakat, anggota DPR, dan pimpinan daerah untuk mendalami persoalan ini secara bersama.
“Kita akan fokus menelaah dokumen kesepakatan tahun 1992 dan juga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 sebagaimana disebut oleh Pak Jusuf Kalla kemarin. Semua akan menjadi bahan kajian kolektif,” kata Bima.
Sebelumnya, Kemendagri telah menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang pemutakhiran kode dan data wilayah administratif pemerintahan dan pulau, yang ditandatangani pada 25 April 2025. Namun, keputusan ini menuai penolakan, khususnya dari kalangan pemerintah dan masyarakat Aceh yang menuntut keempat pulau tetap menjadi bagian dari wilayah mereka. (BAAS)
