“Kami tidak membenarkan ODOL, tapi perlu ada kejelasan legalitas dan masa transisi yang adil. Penegakan hukum tidak bisa dilakukan tiba-tiba tanpa solusi,” ujarnya.
Agus juga mengkritisi sistem pengawasan ODOL yang masih manual dan rawan penyimpangan. Ia menilai digitalisasi sistem, seperti integrasi GPS, manifes digital, dan pengawasan KIR berbasis data harus segera diterapkan.
“Pemerintah jangan hanya fokus menindak. Edukasi dan transisi perlu ditata bersama,” tambahnya.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, menyayangkan kebijakan ODOL yang dinilai belum menyentuh akar persoalan. Ia menilai, para sopir hanya menjadi korban dari sistem logistik yang timpang.
“Penegakan hukum penting, tapi seharusnya jadi tahap akhir. Kita benahi dulu dari hulu. Revisi undang-undang penting, tapi harus memihak sopir kecil, bukan hanya pengusaha besar,” kata Djoko, Sabtu (21/6/2025).
Djoko juga mengungkapkan bahwa rendahnya upah sopir menjadi penyebab utama mereka memaksakan membawa muatan berlebih. Berdasarkan kajian Kemenhub, rata-rata penghasilan sopir truk hanya sekitar Rp1,4 juta per bulan — jauh dibandingkan sopir di Thailand yang mencapai Rp25 juta per bulan. (BAAS)
