“Ini bukan sekadar teori sejarah. Ini luka bangsa yang belum sembuh, Pak. Kalau negara saja tak mengakui, siapa lagi yang akan memperjuangkan keadilan para korban?” ujarnya sambil menangis.
Namun Fadli tetap bergeming. Ia berdalih berbicara sebagai sejarawan dan peneliti. Ia bahkan menegaskan akan terus melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah nasional, kendati ditentang publik. “Jangan menghakimi sejarah yang belum ditulis. Bisa saja nanti Anda justru lebih suka versi ini,” katanya enteng.
Arogansi itu tak hanya memantik kemarahan parlemen, tapi juga memicu aksi spontan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang hadir di balkon ruang rapat. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan: “Hentikan Pemutihan Sejarah!”, “Dengarkan Suara Korban!”, dan “Tolak Gelar Pahlawan Soeharto!”.
Baca Juga :
Kades Sukasenang Bayongbong Garut Ditahan Karena Korupsi Dana Desa, Diduga Rugikan Negara Capai Rp.700 Juta
Fadli menanggapi protes itu dengan santai. “Biasa saja, namanya juga aspirasi. Kita dulu juga begitu,” jawabnya ringan, seolah trauma bangsa hanya sebatas silang pendapat biasa.
Pernyataan Fadli Zon yang meragukan pemerkosaan massal 1998 tak hanya menyayat luka sejarah, tapi juga mempertaruhkan keberpihakan negara terhadap kebenaran dan kemanusiaan. Ketika sejarah ditulis ulang oleh kekuasaan, maka pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa pun bisa terjadi dalam diam.
Tragedi pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998 adalah noda kelam yang tercatat dalam berbagai laporan independen, meski minim data resmi dari negara. Hingga kini, pengakuan dan keadilan bagi para korban masih menjadi PR besar bangsa. (Bhegin)
