LOCUSONLINE, MEDAN – Kunjungan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 28 April 2025 rupanya bukan sekadar formalitas. Kala itu, pimpinan KPK secara gamblang mengingatkan sang gubernur—yang juga menantu mantan Presiden Joko Widodo—untuk mewaspadai celah korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Hanya dua bulan berselang, kekhawatiran itu terbukti.
KPK mencokok tiga pejabat Pemprov Sumut dalam operasi senyap yang membongkar praktik suap proyek pembangunan jalan senilai Rp231,8 miliar. Dua kontraktor disinyalir menyetor uang pelicin Rp2 miliar demi memuluskan jalan mereka menjadi mitra pemerintah. “Kami menetapkan lima tersangka; dua pemberi dan tiga penerima suap,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers, Sabtu, 28 Juni 2025.
Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menegaskan bahwa sektor infrastruktur adalah ladang basah bagi koruptor. Modusnya beragam, mulai dari pengurangan spesifikasi hingga penggelembungan biaya. “Ketebalan aspal bisa dikurangi separuh dari yang seharusnya, demi memperbesar margin keuntungan,” ungkap Yudi.
Persoalan tak berhenti di situ. Kursi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) sering kali dijadikan jabatan politis, ditempati orang dekat kepala daerah yang loyal secara politik, bukan profesional secara teknis. Celah inilah yang membuka pintu persekongkolan.
Baca Juga :
KPK Ungkap Peran Aktif Hambat Penangkapan Harun Masiku, Hasto Dituntut 7 Tahun Penjara
Yayat Supriatna, dosen Universitas Trisakti, mengkritisi lemahnya sistem seleksi dalam lelang proyek. Banyak perusahaan pemenang tender yang secara teknis dan administratif tak layak, bahkan terindikasi fiktif. “Kontraktor bodong bisa menang karena sudah ada kesepakatan sebelum proyek ditenderkan,” tegas Yayat.
