Dalam dakwaan Jaksa KPK, disebutkan Rp 3,8 miliar mengalir ke kantong Mbak Ita selama 2022–2024. Tak kalah rajin, sang suami juga kebagian Rp 1,2 miliar, menjabat kala itu sebagai Ketua Tim Penggerak PKK—lembaga non-struktural yang tampaknya punya daya hisap anggaran yang sangat struktural.
Ketika persidangan berjalan, kuasa hukum Mbak Ita mencoba membantah. Bahkan menuduh para saksi ‘dikondisikan’ sebelum bersaksi. Namun ironi makin lengkap saat fakta lain mengemuka: instruksi pembakaran catatan keuangan Bapenda saat operasi tangkap tangan KPK, diduga datang dari sang mantan wali kota sendiri.
Dengan dalih “iuran kebersamaan”, Bapenda berubah jadi ladang pendanaan politik keluarga elite. Pegawai tak lagi bekerja demi pelayanan publik, melainkan demi menyelamatkan kariernya dari mutasi paksa.
Kasus ini bukan hanya menelanjangi praktik pemerasan terselubung, tapi juga menyingkap kronisme akut dalam pemerintahan lokal: suami ikut mengatur birokrasi, istri menjabat wali kota, dan pegawai jadi tumbal politik dinasti.
Kini, masyarakat hanya bisa berharap—bukan pada ‘kebersamaan’ yang dipaksakan—tapi pada tuntasnya penegakan hukum yang tak tunduk pada status sosial, jabatan politik, atau narasi pencitraan.
Karena jika kantor pajak saja bisa dijadikan celengan politik keluarga, lalu apa yang tersisa dari makna pelayanan publik? (Bhegin)
