BNN pun ikut menyemarakkan dengan jargon klasik “edukasi, komunitas, dan relawan” sebagai garda terdepan. Kepala BNN, Marthinus Hukom, mengingatkan pentingnya kolaborasi, seraya menandatangani perjanjian kerja sama dengan Kemendes—sebuah dokumen yang seringkali hanya menjadi koleksi foto seremonial.
“Keberhasilan program sangat bergantung pada kolaborasi berbagai pihak,” ujarnya, mengulang kalimat yang hampir selalu muncul setiap ada program baru.
Yang turut menjadi catatan, Kemendes PDTT baru saja mengajukan tambahan anggaran Rp 1,7 triliun untuk belanja pegawai dan internet, sementara masalah mendasar seperti pengawasan perbatasan laut dan jalur distribusi narkoba tetap menggantung di udara.
Alih-alih memperkuat keamanan laut, membekali pemuda dengan keterampilan, atau meningkatkan pengawasan logistik pesisir, pemerintah memilih memulai dari kantong-kantong desa, mewajibkan urin bersih sambil berharap laut selatan ikut ‘bersinar’.
Desa Bersinar boleh jadi langkah awal, tapi jika pelabuhan tikus tetap dibiarkan berkeliaran, maka jangan heran bila apa yang bersinar justru cuma panggung seremonial para pejabat—bukan masa depan desa.
Karena narkoba tak takut pada baliho dan pidato. Ia takut pada kebijakan yang benar-benar menyasar akar, bukan hanya permukaan. (Bhegin)
