Rozak mengklaim bahwa acara ini bagian dari keterbukaan dan transparansi publik. Tapi nyatanya, tidak ada penjelasan bagaimana kuota tambahan ‘rombongan belajar’ (rombel) yang disebutkan akan diterapkan secara adil. Yang ada justru penegasan bahwa maksimal 48 siswa akan ditampung per rombel. Sisanya? Silakan kembali ke sistem dan jarak — atau menepi ke swasta yang makin mahal.
Sementara itu, masyarakat hanya bisa menatap papan pengumuman dengan harap-harap cemas, berharap nama anaknya muncul di daftar rombel tambahan. Seolah masa depan mereka bisa ditentukan oleh titik koordinat, bukan potensi atau kebutuhan nyata.
PAPS, yang sejatinya adalah program pencegahan, dalam praktiknya bisa saja berubah jadi tambalan—bukan solusi. Ketika sekolah negeri harus membatasi anak-anak yang ingin belajar hanya karena aturan yang kaku dan berlapis, maka pendidikan pun perlahan bergeser: dari hak menjadi hadiah. (Nuroni)
