Media menyebutnya “gema haru dan kebanggaan”. Tapi sebagian warga menyebutnya “kompensasi diam-diam”. Negara memang tidak meminta maaf secara resmi atas ledakan itu, tapi memberi seragam loreng untuk anak-anak yang ditinggal ayahnya—seolah lencana bisa menggantikan pelukan terakhir yang hilang.
Kini, dua anak itu berdiri tegap dalam formasi. Mereka tak hanya mengusung nama keluarga, tapi juga beban simbolik: bahwa dari reruntuhan tragedi, tentara bisa lahir. Tak ada konferensi pers soal perbaikan sistem keamanan gudang amunisi, tapi ada liputan penuh tentang selebrasi kelulusan dua anak korban. Sungguh, dari luka menjadi lencana—dan dari tragedi, lahirlah narasi. (Suradi/Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”