“Negara sih bilang gratis, tapi kita harus tetap beli sepatu. Masa masuk sekolah pakai sandal jepit?” celetuk suara rakyat yang sayangnya tak tertulis di siaran pers.
Maka, Sekolah Rakyat pun diharapkan menjadi remedial nasional atas kegagalan sistemik yang telah lama berlangsung. Semua kebutuhan siswa akan ditanggung negara—mulai dari nasi sampai nasihat hidup. Bahkan, katanya akan ada pemetaan bakat dan pelatihan keterampilan, supaya begitu lulus, anak-anak ini tidak kembali menjadi statistik pengangguran atau kurir paket online.
Tentu, harapan itu indah. Tapi publik masih bertanya-tanya: apakah program ini solusi jangka panjang atau sekadar program karitatif beraroma elektoral?
Presiden telah mewanti-wanti agar Sekolah Rakyat “benar-benar tepat sasaran dan berjalan dengan cara yang benar”. Namun publik tahu, dalam politik, niat baik bisa tenggelam di antara tender seragam, laporan keberhasilan fiktif, dan kontraktor yang selalu dapat duluan sebelum muridnya.
Yang jelas, jika kemiskinan memang tidak boleh diwariskan, maka semoga program ini tak jadi proyek yang hanya lulus di konferensi pers—dan gagal di ruang kelas.
Kalau negara baru sadar sekarang bahwa kemiskinan butuh solusi struktural, maka layak kita bertanya: apa saja yang dikerjakan para elite selama ini, hingga rakyat harus diajari caranya agar tidak miskin di sekolah yang disediakan oleh mereka yang dulu membiarkan itu terjadi? (Suradi)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”