LOCUSONLINE, GARUT — Kala PT. Hoga Reksa Garment menjulang dengan produksi ekspor pakaian jadi ke mancanegara, warga Desa Haruman justru menatap pabrik megah itu dari luar pagar—bukan sebagai karyawan, melainkan sebagai penonton. Lamaran sudah dikirim, harapan sudah disematkan, tapi pintu kesempatan tak kunjung terbuka. Bahkan surat-surat lamaran itu kini lebih akrab dengan laci dan debu ketimbang HRD perusahaan. Selasa, 15 Juli 2025
Pemerintah Desa Haruman, Kecamatan Leles, akhirnya angkat tangan—atau tepatnya, angkat laporan. Perusahaan garmen yang beroperasi di Blok Tutugan itu dilaporkan hingga ke Kementerian Tenaga Kerja pusat. Alasannya? Rekrutmen tenaga kerja lokal yang hanya jadi slogan, bukan realitas.
Kepala Desa Haruman, Apiv Fivery, mengaku sudah terlalu lama menampung keluhan warga. Dari tahun 2023 sampai 2025, surat lamaran menumpuk di kantor desa seperti berkas arsip tak bertuan. Ironisnya, bukan hanya PT. Hoga, tapi juga perusahaan tetangganya seperti PT. Tactical, ikut disebut dalam tumpukan kekecewaan.
“Kami ini hanya bisa menampung dan meneruskan. Tapi kalau perusahaan tak respons, ya kami yang kena semprot,” ujar salah satu staf desa sambil menunjukkan tumpukan map kertas berisi harapan yang tak kunjung dipanggil.
Baca Juga :
Bayang-bayang PT. Hoga Reksa Garment yang Tak Ramah Warga Pribumi, Harapan Warga Terus Memudar
Masalah ini bukan baru, dan jelas bukan kecil. Bahkan sebelum pabrik berdiri, masyarakat setempat sudah mengadakan kesepakatan—yang didukung aksi unjuk rasa dan mediasi dengan organisasi kepemudaan KNPI. Salah satu poin utama kesepakatan adalah soal rekrutmen tenaga kerja lokal. Tapi setelah pabrik berdiri kok malah seperti lupa tanah asalnya?
