Apiv Fivery tak hanya menyampaikan keluhan di ruang rapat. Ia mengklaim sudah melaporkan hal ini ke Dinas Tenaga Kerja Garut, bahkan hingga ke pusat. Tapi, sampai kini, perusahaan masih lebih senang memanggil pelamar dari luar ketimbang yang hanya sepelemparan batu dari pagar pabrik.
“Sudah banyak warga yang curhat langsung ke saya. Mereka capek jadi pelamar tak dianggap, apalagi yang laki-laki. Dipanggil interview, tapi setelah itu hilang kabar, seperti cinta bertepuk sebelah HRD,” sindir Apiv.
Lebih menggelitik lagi, warga dari luar daerah yang punya ijazah setara dan tanpa keahlian khusus malah diterima. Sementara pelamar lokal harus puas dengan status “sedang diproses” selama berbulan-bulan—proses yang entah kapan berakhir.
“Kalau memang ditolak, beri alasan. Kalau kurang skill, beri arahan. Jangan dijadikan bola liar dan seolah pemerintahan desa yang salah,” tegas Kades Haruman, menutup pernyataannya dengan nada kecewa tapi tetap formal.
Saat pabrik tumbuh di atas janji dan warga menanam harapan di balik pagar, maka lamaran kerja pun berubah jadi artefak administrasi. Jika rekrutmen lokal hanya jadi hiasan CSR, mungkin sudah waktunya warga tak sekadar mengetuk pintu, tapi menggugat ulang janji yang pernah dibuat sebelum tiang-tiang pabrik berdiri. (Nuroni)
