“Dia katanya dosen, lulusan tinggi, tapi perlakuannya seperti predator. Menikahi anak saya hanya untuk memenuhi hasratnya. Setelah itu dibuang begitu saja,” ucap Jingga geram.
Kini, Bunga tak hanya kehilangan suami tanpa legalitas, tapi juga masa depan. Status jandanya tak memiliki dasar hukum, sementara trauma membekas tanpa ada yang peduli. “Anak saya jadi janda tanpa surat, tanpa perlindungan. Negara ada di mana?” tanya Jingga.
Kondisi keluarga pun memprihatinkan. Anak pertama masih dalam pemulihan usai kecelakaan, anak ketiga baru masuk SMP, dan Jingga sendiri hidup dari jualan jajanan. Perlindungan hukum? Jauh panggang dari api. Bantuan sosial? Tak jelas rutenya. Sementara para pihak yang terlibat dalam “jual-beli cinta” ini masih melenggang tanpa beban.
Pertanyaan besarnya: bagaimana seorang warga asing bisa dengan mudah menikahi gadis belia tanpa prosedur sah dan justru meninggalkannya dalam status tanpa hukum?
Bunga bukan satu-satunya korban. Tapi selama praktik kawin kontrak berkedok cinta dibiarkan, dan aparat tutup mata demi amplop tipis, deretan nama seperti Bunga akan terus bertambah.
Sementara itu, Bunga dan keluarganya masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Bukan dari janji pejabat, tapi dari keberanian negara membela warganya yang terbuang. (Laela)
