LOCUSONLINE, GARUT – Seorang pelajar kelas X di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Garut ditemukan tewas tergantung di rumahnya pada Senin (14/7/2025). Satu nyawa melayang, dan aparat kepolisian buru-buru menyebut dugaan bunuh diri, meski penyelidikan belum rampung, dan suara publik belum sepenuhnya diam. Kamis, 17 Juli 2025
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut, AKP Joko Prihatin, menjelaskan bahwa hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) belum mengindikasikan adanya tanda-tanda kekerasan. Namun, penyebab pasti kematian pelajar berusia 16 tahun ini masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut.
“Belum bisa disimpulkan, penyebab kematiannya masih kami selidiki,” kata Joko, seolah mencoba menyeimbangkan antara dugaan cepat dan penyelidikan lambat.
Isu yang menyeruak di media sosial menyebut bahwa korban diduga mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Isu ini menyeret nama pihak sekolah yang langsung tampil membela diri. Dalam pernyataannya, sekolah dengan tegas membantah adanya kasus bullying, namun membenarkan bahwa korban tidak naik kelas akibat tujuh mata pelajaran yang belum tuntas.
Alih-alih refleksi, pihak sekolah justru memberikan penjelasan teknis yang terdengar kering dari empati. Menurut mereka, orang tua sudah diberitahu sebelumnya, dan masalah prestasi akademik korban telah dikomunikasikan.
Sungguh ironi: nyawa hilang, tapi yang dibela lebih dulu adalah citra institusi.
Keadilan pun tampak digantung, seperti korban.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Garut dikabarkan mulai “turun tangan”, meminta klarifikasi dan menjanjikan penanganan. Namun, langkah tersebut dianggap sebagian pihak sebagai bentuk respons pasif yang muncul setelah kasus viral, bukan sebagai sistem pencegahan yang terencana.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”