“Dana yang masuk baru 40 persen, sisanya menurut pihak desa akan cair di tahap dua. Tapi kami sudah bergerak, semua rincian anggaran sudah kami susun dan jalankan sebisanya,” jelas Rizal.
Satu hal yang cukup disorot adalah keputusan Bumdes untuk menyewa lahan pertanian di luar wilayah Desa Haruman, yakni di Desa Dano. Rizal berdalih, lahan di Haruman hanya bisa ditanami saat musim hujan, sedangkan kontur tanah di Dano memungkinkan pertanian berlangsung sepanjang tahun.
Bumdes Harum Mandiri juga mengklaim telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) serta mengikuti pelatihan bimbingan teknis sebelum mengimplementasikan program ini. Namun belum ada laporan evaluasi atau audit mandiri terkait efektivitas langkah yang sudah dijalankan.
Lebih jauh, Enjang mengungkap bahwa sebelum ada gelontoran dana dari pemerintah, pihaknya telah menjalankan berbagai kegiatan sosial berbasis kas swadaya—termasuk dari para pelaku UMKM lokal—untuk memperbaiki infrastruktur lingkungan dan menyalurkan sembako pada tahun 2024 lalu.
Meski sejumlah inisiatif patut diapresiasi, transparansi penggunaan anggaran publik dan dampak konkret terhadap masyarakat masih menjadi tantangan utama Bumdes Harum Mandiri. Sementara publik menanti, apakah proyek ini akan menjadi cerita sukses pembangunan berbasis desa, atau justru hanya satu dari sekian banyak program yang mangkrak karena seretnya pencairan dana dan minimnya pengawasan. (red)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”