Kontras mencolok antara dua kematian ini memperlihatkan wajah muram keadilan di negeri ini: ketika status menentukan seberapa keras polisi bekerja. Jika yang tewas adalah diplomat, maka analisis forensik, pemeriksaan saksi, hingga pembacaan psikologis korban dilakukan sepenuh tenaga. Tapi jika yang meninggal hanyalah rakyat kecil, cukup dicatat dan dilupakan.
Ironisnya, dalam banyak pidato, institusi penegak hukum kerap menyuarakan jargon “semua warga negara setara di hadapan hukum.” Namun kenyataannya, hukum tampaknya bisa lebih cepat bekerja jika korban memiliki jabatan, koneksi, atau latar belakang prestisius.
Di tengah kesungguhan penyelidikan terhadap ADP, sudah semestinya Kapolri juga melihat ke arah Cilacap, di mana satu nyawa lain tergeletak tanpa keadilan. Karena keadilan yang pilih kasih bukanlah keadilan, melainkan kekuasaan yang menyamar.
Nyawa guru tak boleh dianggap recehan, sebab merekalah pilar masa depan bangsa.
Namun di republik ini, tampaknya gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” terlalu sering dibuktikan dengan kematian tanpa keadilan. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”