Baca Juga : Tiga Nyawa Melayang, EO Jadi Tumbal, Elit Terkesan Cuci Tangan
Dibayar, Bukan Disumbang: Klarifikasi Mewah dari Pendopo, Saat Rakyat Tumbang
Lebih ironis lagi, ketika tragedi pecah, para tokoh kunci justru berlindung di balik klaim ketidaktahuan. Gubernur Dedi Mulyadi, misalnya, disebut-sebut tak mengetahui detail teknis acara. Namun jejak digital di media sosial memperlihatkan sebaliknya: dirinya sempat mempromosikan agenda makan gratis.
“Kalau benar beliau tidak tahu, lalu siapa yang promosikan di media sosial? Jangan-jangan rakyat disesatkan oleh konten sang gubernur sendiri,” sindir Asep Muhidin, SH, MH, praktisi hukum Garut yang menyebut tragedi ini lebih dari sekadar kecelakaan.
Menurutnya, ada indikasi kelalaian berat, bahkan potensi pelanggaran pidana, karena acara berskala masif ini menelan korban jiwa. “Kalau bukan kelalaian, lalu apa? Ini tragedi sosial, bukan insiden teknis,” tegasnya.
Pihak Event Organizer (EO) pun kini jadi kambing hitam kolektif. Kepolisian dan elite menyebut EO sebagai penanggung jawab tunggal, seolah mereka bekerja tanpa arahan. Padahal, publik tahu: EO hanya pelaksana, bukan pengambil keputusan.
“EO tidak akan bergerak tanpa arahan. Siapa yang memberi mandat? Siapa yang menyetujui konsep pesta rakyat ini? Itu yang harus diungkap,” ujar Asep.
Desakan hukum bermunculan. Dari Komisi Perlindungan Anak, aktivis lokal, hingga warga biasa, semua menuntut keadilan atas pesta yang berubah jadi pemakaman massal. Namun yang ditunggu-tunggu justru belum bicara: elite politik di balik pernikahan.
Tiga petak tanah merah sudah dipakai. Karpet merah masih tergelar. Para pejabat melanjutkan hidup, mengatur narasi, dan menyebut ini sebagai “musibah yang tidak disengaja.”

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”