Duka serupa juga menyelimuti Kampung Sindang Heula, tempat tinggal Vania, bocah perempuan berusia 8 tahun yang turut menjadi korban. Warga tak menyangka makan gratis bisa berujung pada kematian.
Wijiono, Lurah Sukamentri, mengkonfirmasi dua dari tiga korban adalah warganya. Sejak insiden itu, ia terus mendampingi keluarga korban dan mengurus pemakaman. “Kami tak menyangka, sebuah hajatan bisa membawa petaka sebesar ini,” ucapnya.
Pihak Pemerintah Kabupaten Garut merespons dengan membatalkan seluruh rangkaian acara lanjutan. Namun keputusan itu datang setelah korban jatuh, setelah keramaian berubah jadi malapetaka. Bupati Garut Abdusy Syakur Amin menyebut panitia berasal dari pihak eksternal dan evaluasi tengah dilakukan. Pernyataan normatif yang sayangnya tak menjawab pertanyaan publik yang lebih penting: Siapa yang bertanggung jawab?
Sementara itu, sang Gubernur sekaligus besan, Dedi Mulyadi, memilih bersembunyi di balik jadwal pribadi dan unggahan media sosial. Ia mengaku tak tahu ada makan siang untuk rakyat—padahal jejak digital menyatakan sebaliknya.
Pesta elite, tapi rakyat yang gugur. Tiga nyawa melayang dalam euforia kuasa yang tak terkendali. Sebuah pengingat pahit bahwa ketika pejabat merayakan kebahagiaannya dengan mengundang ribuan rakyat, mereka lupa bahwa tanggung jawabnya lebih besar dari sekadar popularitas.
Kini publik hanya bisa menunggu: apakah Polda Jabar benar-benar akan menyelidiki secara terbuka dan profesional, atau tragedi ini akan kembali ditutup dengan karpet merah dan ucapan duka yang penuh basa-basi. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”